Peristiwa pertama terjadi saat jam piket, setelah jam pelajaran terakhir. Jam piket selalu menjadi salah satu momen paling menakutkan selain jam makan siang. Alasannya, setelah jam sekolah, tidak ada lagi guru yang mengawasi dan seluruh ruang kelas tidak dipasangi kamera pengawas. Jadi boleh dibilang itu adalah salah satu kesempatan emas bagi para perundung untuk menjalankan aksinya. Satu-satunya faktor penentu adalah suasana hati mereka. Kalau suasana hati mereka baik, kami dapat menyelesaikan jam piket dengan aman. Namun jika suasana hati mereka buruk, bersiap-siaplah.
Itu jugalah yang terjadi hari itu. Aku dan Cassie termasuk salah satu yang bertugas piket bersama Mike serta beberapa murid lain. Awalnya situasi aman. Kami membagi tugas. Ada yang membuang sampah ke halaman belakang, menyapu, dan mengepel. Kami sudah hampir selesai ketika tiba-tiba geng Sean menerobos masuk dan mengunci pintu. Begitu melihat raut wajah Sean yang tampak suntuk, aku langsung tahu kalau mereka sengaja datang untuk membuat ulah.
Dan memang benar itulah yang terjadi.
Sean langsung duduk di atas salah satu meja, kemudian memberi isyarat pada Mike untuk mendekat. Aku masih mengingatnya dengan cukup jelas. Dengan wajah pucat, Mike menurut. Dia pasti tahu kalau dia tak bisa melawan, terutama karena dia yakin tak seorang pun akan membantunya.
Michael Ahn tahu kalau dia sendirian.
Jadi, dia menghampiri Sean, yang memegang sekaleng soda di tangannya. Ketika Mike berdiri di hadapannya, Sean mendekatkan kaleng soda ke bibirnya dan meludah ke dalam kaleng dengan suara berisik yang terdengar jelas sengaja dibuat-buat. Setelahnya, dia menyodorkan kaleng itu kepada Mike dan menggerakkan kepala ke arah kaleng, memberi Mike isyarat untuk mengambilnya.
Tidak perlu menjadi jenius untuk tahu apa rencana Sean. Isi kepala Sean selalu seperti buku terbuka bagi kami semua. Namun, mirisnya, kami tidak dapat menghindar, sebab konsekuensinya akan lebih buruk.
Jadi, seperti yang diharapkan darinya, Mike pun mengambil kaleng itu dan Sean berkata, Minum.
Aku tahu ini pikiran yang sangat egois, tapi yang terlintas di benakku waktu itu bukanlah bagaimana menyelamatkan Mike dari situasi tersebut, melainkan kelegaan karena bukan aku yang menjadi target Sean. Aku yakin kalau murid lain juga memikirkan hal yang sama. Kami semua serempak memalingkan wajah ketika Mike--dengan tangan gemetaran--mengangkat kaleng ke bibirnya.
Dia pikir itu harga yang harus dibayar demi keselamatannya.
Sayangnya, dunia tidak mengikuti harapan Mike, setidaknya di Gateaway City.
Keesokan harinya, Mike datang ke sekolah dengan mata lebam dan kaki pincang. Menurut informasi yang beredar luas di grup obrolan, tadi malam Sean dan gengnya terlihat mencegat Mike yang baru pulang dari tempat kerja paruh waktunya. Tidak perlu kamera pengawas untuk tahu apa yang terjadi setelahnya.
Seperti yang sudah dapat kuperkirakan, mata Scar berkilat penuh amarah usai mendengar ceritaku. "Bajingan," bisiknya geram. "Orang itu benar-benar bajingan yang pantas mati. Kalau bukan Mike yang membunuhnya, kurasa aku yang akan melakukannya."
"Dia memang lebih dari pantas untuk mati," aku menyetujui. "Tapi orang sepertinya tidak layak membuat siapa pun kehilangan hidupnya."
"Aku tahu." Scar mengedikkan bahu dengan wajah masam. "Tapi akan sangat tidak adil jika aku berharap Mike dapat bersabar menerima perlakuan seperti itu setiap hari."
Memang. Posisi Michael Ahn adalah posisi serba salah. Sejujurnya, bertahan merupakan satu-satunya hal yang dapat dia lakukan, tapi seperti yang dikatakan Scar, akan sangat tidak adil untuk meminta itu darinya.
Matanya beralih ke buku catatan. "Sekarang, ceritakan apa yang terjadi saat ulang tahunnya."
Peristiwa kedua yang disebutkan Pembawa Pesan dalam suratnya kepada Mike terjadi di aula olahraga. Hari itu memang hari ulang tahun Mike. Secara kebetulan, jam olahraga merupakan jam pelajaran terakhir. Itu kesialan tingkat tinggi, sebab guru olahraga tidak pernah hadir lebih dari setengah jam. Biasanya dia hanya memberikan beberapa instruksi singkat kemudian pergi.
Aula olahraga dilengkapi dengan kamera pengawas, makanya geng Sean serta para bajingan lainnya tidak pernah beraksi di sana. Mereka memilih untuk melakukannya di ruang ganti murid laki-laki. Itu jugalah yang terjadi hari itu. Geng Sean menerobos masuk ketika kami sudah berada di ruang ganti. Mereka datang membawa kue tart berukuran kecil dan menyanyikan lagu 'Selamat Ulang Tahun' dengan nada sumbang yang terdengar jelas bertujuan untuk mengolok-olok.
Sean mendekati Mike yang berdiri kaku di sudut, kemudian langsung menyurukkan kepala pemuda itu masuk ke dalam kue. Seperti biasa, semua berlangsung dengan mudah tanpa perlawanan sama sekali dari Mike. Setelah itu, kegilaan pun dimulai. Sambil tertawa-tawa, mereka berlomba-lomba meraup kue hanya untuk mengoleskannya ke wajah serta rambut Mike. Hanya dalam waktu singkat, kepala pemuda malang itu sudah dipenuhi kue dan krim. Seolah itu belum cukup buruk, mereka memotret Mike dan langsung mengunggahnya ke berbagai grup obrolan yang mereka ikuti.
Selama itu terjadi, aku dan beberapa murid lainnya yang juga berada di sana hanya dapat diam di tempat kami masing-masing seperti pengecut, berusaha tidak mengeluarkan suara. Lebih tepatnya, kami berharap Sean tidak akan menyadari kehadiran kami. Harapan kami terkabul, tapi hidup Mike bertambah sengsara sejak hari itu. Berkat foto yang sempat beredar selama dua jam di berbagai grup obrolan, Mike mendapat julukan 'Cowok Kue'. Tentu saja Sean berperan besar dalam mempopulerkan julukan itu.
"Apa benar-benar sebanyak itu orang yang menyimpan fotonya?" tanya Scar gusar, merujuk pada salah satu kalimat dalam surat Pembawa Pesan.
Itu salah satu hal konyol untuk dilakukan, tapi memang begitu adanya. Manusia cenderung selalu ingin merasa lebih baik daripada orang lain. Bagaimana cara untuk melakukannya dengan cepat? Tentu saja dengan membuat orang lain terlihat lebih buruk.
Scar membuang napas keras-keras, kemudian menyodorkan buku catatannya padaku. "Jadi, siapa saja orang yang menyaksikan secara langsung kedua peristiwa tersebut? Coba kau ingat-ingat lalu tuliskan."
Aku mencoba berpikir. Saksi kedua peristiwa itu yang juga sekaligus merupakan korban perundungan Sean dan para murid senior yang ditembak mati oleh Ian di kafetaria. Untungnya, tidak banyak orang-orang yang ada di sana ketika kedua peristiwa itu terjadi. Aku meraih pulpen dan mulai menuliskan nama-nama yang kuingat. Kemudian, aku memilahnya berdasarkan fakta yang sudah kami rangkum mengenai Pembawa Pesan. Hasilnya, ada tiga nama.
"Hanya mereka?" Scar menatapku dengan sebelah alis terangkat setelah membaca nama yang tersisa di buku catatannya.
"Yang memenuhi syarat hanya mereka."
Scar mengembalikan tatapannya ke buku. Kedua alisnya berkerut. "Liam, Tom, dan Jude. Baiklah. Kita mulai dari mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Messenger
Mystery / Thriller[Pemenang Wattys 2022 kategori Mystery/Thriller] *** Berawal dari pernyataan pelaku penembakan massal di sekolahnya yang mengaku bahwa dia mendapatkan surat yang memprovokasinya untuk melakukan aksinya, Joseph bertekad mencari sosok pengirim surat t...