Tidak ada yang menghadiri pemakaman Cassie.
Bahkan ayahnya pun tidak.
Aku menatap batu nisannya yang basah, diguyur oleh hujan deras yang sudah turun sejak dua jam yang lalu. Aku tidak ingat berapa lama aku menangis setelah menerima telepon dari rumah sakit. Yang kuingat hanyalah, tahu-tahu aku sudah berada dalam mobilku yang masih terparkir di depan rumah Cassie. Mataku sembap dan kepalaku terasa tidak nyaman.
Hal pertama yang terlintas adalah; aku baru saja mengalami mimpi buruk.
Kemudian aku memeriksa panggilan terakhir yang kuterima di ponselku. Itu dari rumah sakit. Dan aku pun tersadar kalau itu bukan mimpi.
Cassie telah pergi. Untuk selamanya.
Aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Aku tidak akan pernah mendengar suaranya lagi. Itu benar-benar mengerikan dan terasa jauh lebih menyakitkan dari yang kukira. Dadaku terasa sangat sakit, hingga sesak dan membuatku sulit bernapas. Aku merasa hampa sekaligus hancur. Bagaimana bahkan semua ini bisa terjadi?
"Bagaimana bisa kau meninggalkanku begitu saja, Cassie?" bisikku. Suaraku gemetaran lantaran menahan tangis. Cassie benci menangis. Dan dia benci melihat orang menangis. "Kita bahkan belum lulus SMA. Bagaimana aku harus menjalani hidup tanpamu? Siapa lagi yang akan kuperdengarkan lagu-lagu ciptaanku?"
Dari belakang, terdengar bunyi langkah kaki mendekat, kemudian seseorang menaungiku dengan payung. "Dia takkan suka melihatmu sakit."
"Kau sudah tahu sejak awal, kan?" tanyaku tanpa menoleh. "Kau tahu Cassie-lah pengirim surat itu."
Di sebelahku, Hayden menghela napas panjang. "Tidak yakin seratus persen. Beberapa hari setelah kematian ayahku, Cassie bilang padaku agar tidak menyesali keputusanku. Dia bilang itu adalah keputusan yang mau tak mau harus kuambil demi masa depanku dan adikku. Pembawa Pesan juga mengatakan hal yang sama. Dari situlah aku mulai curiga. Aku tahu kemungkinan Cassie sadar dari komanya sangat kecil, tapi jika suatu hari nanti dia terbangun, aku ingin kau menghentikan dia jika memang benar dialah Pembawa Pesan. Cassie sudah jatuh terlalu jauh, Joseph, dan kita tidak boleh membiarkan dia jatuh lebih dalam lagi."
Selama ini, kukira Cassie baik-baik saja. Tak pernah sekalipun tebersit dalam benakku kalau ternyata selama ini dia menyimpan kepahitan yang berakar sangat kuat dalam hatinya. Tidak. Tak hanya kepahitan, melainkan juga dendam dan kebencian. Aku benar-benar sahabat yang buruk. Apa gunanya aku berada di sisinya selama ini jika aku tak dapat menyelamatkannya?
Kami masih berdiri tanpa saling berbicara hingga beberapa menit setelahnya, kemudian Hayden pergi sewaktu melihat Scar datang. Sebenarnya, aku terkejut melihatnya datang. Setelah aku memberitahunya identitas Pembawa Pesan, dia tidak menjawab pesan teksku sama sekali, jadi kukira dia marah.
"Kukira kau tak akan datang," kataku pelan.
Mata hazel-nya mengamatiku sejenak. "Kau terlihat kacau," katanya, mengabaikan ucapanku.
Aku menghindari tatapannya. "Aku tahu ini tak berarti apa-apa bagimu dan takkan bisa memperbaiki semuanya. Tapi, atas nama Cassie, aku minta maaf."
"Kalau kau sudah tahu itu tak berarti apa-apa, kenapa masih melakukannya? Itu konyol," tukasnya, menarik napas panjang lalu mengembuskannya keras-keras. "Aku membencinya setengah mati. Sangat, sangat, membencinya. Terutama karena dia pergi dengan cara seperti ini. Kalau begini, apa artinya kita menemukan Pembawa Pesan? Tak ada! Tak ada artinya sama sekali! Aku bahkan tak dapat membalaskan dendam Mike."
Aku hanya diam. Scar memiliki banyak alasan untuk mengutuk Cassie dan aku tak berhak menghakiminya. Kendati tak ada hubungannya denganku, aku tetap ikut merasa bersalah. Pembawa Pesan yang mengakibatkan saudara kembar Scar menjadi pembunuh ternyata merupakan sahabatku sendiri. Aku sendiri tak yakin apa yang kini kurasakan, sebab awalnya tujuanku melakukan semua ini adalah demi mendapatkan keadilan bagi Cassie, yang kukira turut menjadi korban dari Pembawa Pesan. Namun ternyata fakta yang kutemukan malah seperti ini.
Pada akhirnya, kemarahan yang sebelumnya kurasakan terhadap Pembawa Pesan menguap begitu saja. Pada akhirnya, aku malah membenci diriku sendiri, yang membiarkan Cassie menjadi seperti itu. Aku membenci diriku yang tidak dapat menyelamatkannya.
Aku berjengit ketika Scar tiba-tiba meraih tanganku, tapi kubiarkan saja tangannya menggenggam erat tanganku. "Bukan salahmu Cassie melakukan semua itu. Aku yakin dia pun tak ingin kau menyalahkan dirimu. Itu adalah keputusannya sendiri, Joseph. Kita tak dapat menyelamatkan orang yang tak ingin diselamatkan. Ingat itu."
Aku menelan ludah. "Aku tahu, tapi tetap saja."
"Menerimanya memang tak akan mudah." Nada bicaranya melunak. "Sama seperti halnya aku yang masih menyalahkan diriku karena tidak mengetahui bagaimana Mike hidup selama ini. Barangkali aku juga akan membenci Cassie seumur hidupku. Tapi apa gunanya itu? Dia bahkan sudah mati. Mike juga sudah tidak ada. Pada akhirnya, kita tak dapat melakukan apa pun untuk mereka."
"Jadi, apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?"
"Entahlah. Menjalani hidup, mungkin? Aku juga tak tahu. Tapi Mike pasti tak ingin melihatku terus meratapi kematiannya." Scar berpaling, menemui tatapanku. "Dan aku yakin Cassie juga tak ingin melihatmu meratapi nasibnya."
Aku tahu. Cassie mungkin saja membenci seisi dunia, tapi dia pasti tak ingin melihatku ikut jatuh bersamanya.
"Lantas, apa sekarang kau akan kembali ke ibu kota?" tanyaku.
Dia mengedikkan bahu. "Aku berencana tinggal di sini hingga lulus SMA. Aku ingin menemani ayahku. Paling tidak hingga dia merasa lebih baik."
Kami masih bergandengan tangan ketika meninggalkan area pemakaman. Hujan sudah berhenti dan matahari kini mulai bersinar sebagai gantinya. Sambil berjalan, aku mendongak, menatap pelangi yang terbentuk di langit. Cassie selalu membenci hujan, tapi dia selalu menyukai pelangi yang kerap muncul setelahnya. Hal-hal baik pasti akan datang dalam hidup kita kan, Joseph? Seperti pelangi setelah hujan.
Kuharap begitu, Cassie.
Aku benar-benar berharap begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Messenger
Mystery / Thriller[Pemenang Wattys 2022 kategori Mystery/Thriller] *** Berawal dari pernyataan pelaku penembakan massal di sekolahnya yang mengaku bahwa dia mendapatkan surat yang memprovokasinya untuk melakukan aksinya, Joseph bertekad mencari sosok pengirim surat t...