: Taksa :

16 1 0
                                        

mempunya makna lebih dari satu; ambigu



Napas Kahvee terdengar berat saat ia menghembuskannya perlahan. Seberat bagaimana lelaki itu menahan prasangka buruk terhadap serangkaian kejadian hari ini. Pun seberat ia mencoba untuk tetap tersenyum di hadapan keponakan lucunya agar terlihat baik-baik saja.

Setelah titik terakhir puisinya tertulis, mata Kahvee menatap bingkai foto yang selalu setia bertengger di samping buku catatan. Seorang gadis yang tengah tertawa bangga sembari memegang buku yang dikarangnya.

Itu foto pertama Dista di galeri handphone Kahvee. Sengaja diambil ketika Dista merengek minta difoto, 'Biar memori lo penuh, Pak!' dan sejak itu, Kahvee tak bisa menolak permintaan Dista.

Ibu jarinya bergerak pelan mengusap foto sembari tersenyum tipis.

"Apa saya masih bisa terus merayakan Agustus tentangmu, Dista?"

Lalu retinanya berganti melihat sebuah judul puisi yang baru saja ditulisnya.

"Kamu tahu saya selalu bingung memutuskan sesuatu, dan kamu bersedia membantuku menentukan jawabannya,"

Ditaruhnya bingkai foto kembali di tempat semula. Rapi.

"Sekarang bantu saya, Dista,"

Mata Kahvee terpejam.

"Apa saya harus memperjuangkan ... atau merelakanmu."

•••

Hari ketika Dista menyebutkan nama panjangnya, Kahvee kira itu pertemuan biasa antar fan-idola. Nyatanya, mereka bertemu lagi di tempat lain. Dan kerennya, Dista mampu mengenal Kahvee dengan baik. Padahal outfit-nya sengaja memilih warna gelap agar tak ada yang mengenali. Terlebih topi dan kacamata hitam yang hampir menutupi sebagian wajahnya.

"Wah, Pak Gib--"

"Sstt!" Kahvee membungkam mulut Dista agar perkataannya terhenti.

Mata Dista terbelalak, kaget. Bukan, bukan karena penampilan Kahvee, tetapi karena lelaki itu menariknya hingga posisi mereka berdua bisa menimbulkan salah paham bagi siapapun yang melihat.

"Ah, maaf," Akhirnya, Kahvee melangkah mundur. Ia mengusap tengkuknya, entah gatal atau tidak. "Refleks tadi."

Otak Dista masih membeku, tubuhnya pun juga tak bergerak sedikitpun. Karena heran, Kahvee menjentikkan jari tepat di depan wajah Dista.

"Eh-i-iya-iya. Gue juga,"

"Gue juga apa?"

"Hah? Gue juga refleks maksudnya." Gadis itu nyengir, menunjukkan deretan giginya yang rapi.

"Emang sengaja, ya, pake outfit mencolok begitu?" tanya Dista. Matanya menelusuri tiap judul diikuti gerak jari telunjuk pada buku-buku yang berjajar. Yang ditanya diam, tak menjawab meski mendengar. Ia malah mengikuti ke mana kaki perempuan di hadapannya melangkah.

Sampai sebuah judul buku telah diambil dan hendak dibacanya, Dista heran kenapa Kahvee seolah membuntuti dengan ikut duduk di sampingnya.

"Pak Gibran ngikutin gue, ya?"

Kahvee menoleh. Anehnya, Dista justru menutup mulut dengan telapak tangannya, terlihat seperti sedang menahan tawa.

"Kenapa?"

"Nggak, kok, nggak apa-apa. Aneh aja liat Pak Gibran gaul begini," jawab Dista seraya tertawa kecil.

"Emang biasanya--"

Tehku dan KopimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang