nama ilmiah tumbuhan teh;
Camellia Sinensis: suatu tanaman yang memiliki khasiat obat•
•
•Camellia Paradista.
Kata Bunda, nama belakangku adalah pemberian dari nenek yang memiliki arti berdiri dengan mantap. Sedangkan nama depanku terinspirasi dari kata latin dari tanaman teh. Kukira, mereka memberiku nama itu agar aku suka minum teh. Ternyata, Ayah yang mengusulkan.
"Hampir tiap pagi, Ayahmu nggak pernah absen minta buatin teh. Saking candunya, dia sampai hafal macam-macam teh. Makanya di rak banyak buku yang temanya teh."
Tadi, aku hanya berniat menonton televisi. Siapa tahu ada tontonan yang menarik, selain gosip dan berita artis. Wah, sepertinya kartun memang terbaik sepanjang masa. Tak lama kemudian, Bunda datang membawa dua gelas minuman: teh dan kopi susu.
Jadilah Bunda bercerita banyak hal karena aku mempertanyakan apa arti namaku. Di bagian lain dalam diriku, ada sesuatu yang seolah menolak segala hal tentang masa lalu. Entah itu menyakitkan atau tidak. Bukankah yang menyenangkan pun bisa menjadi tangis jika dikenang di masa sekarang?
Bisa jadi sebab tak dapat terulang kembali, atau orangnya tak mampu bersua lagi.
"Bahkan, Ayahmu kaget waktu kamu sering beli kopi kemasan itu. Udah ditawarin teh, coba dulu, siapa tahu suka. Eh, malah bilang kalau rasanya nggak menantang." Bunda tertawa di ujung kalimat.
Sepanjang bercerita, kedua retina Bunda menatap ke arah depan. Berbinar; seolah melihat serpihan kejadian yang keluar dari bibirnya. Namun di beberapa kalimat, air di matanya menggenang, ingin jatuh tapi ditahan.
Sepanjang itu juga, aku belum mengeluarkan sepatah kata pun. Tidak menjawab, menyanggah dan mempertanyakan apa-bagaimana. Bukan tidak mendengarkan, aku hanya mencoba menahan apa yang selama ini membuatku bertanya-tanya.
"Sampai sekarang, setiap kali Dista tanya tentang Ayah, Bunda selalu bilang, 'Dista harus percaya kalau Ayah sayang sama Dista',"
Hingga perkataan itu keluar,
aku tidak lagi mau menyembunyikan apapun."Dista ...,"
"Dista tahu Bunda belum siap cerita tentang Ayah. Dista tahu hati Bunda masih belum sembuh atas kepergian Ayah. Tapi, Dista juga anak Ayah, Bun. Sakit yang Bunda rasakan, Dista juga ngerasain itu dengan cara yang beda,"
Bunda tersenyum kecil, seakan tahu bahwa anaknya akan menanyakan hal ini. Sejenak, seorang ibu berkepala empat itu menyeruput teh sembari memejamkan mata. Aku yakin, ada rindu yang menyesakkan di tiap seduhnya.
"Bunda selalu berusaha untuk nggak merahasiakan apapun, Dista. Termasuk Ayahmu. Waktu Bunda bilang Ayah sayang Dista, itu bukan pengalihan. Itu satu-satunya alasan Ayahmu terus bertahan,"
Seluruh ruang mendadak lengang, yang ramai hanya hembus napas di antara kami berdua. Aku menunggu Bunda melanjutkan kalimat, sedang Bunda tetap setia menahan air mata; agar tetap berada di balik kelopaknya, meski mati-matian ia ingin jatuh.
"Sebenernya, Bunda juga mau ngomong sama kamu. Tapi, Ayah ngelarang Bunda ngelakuin itu. Sampai-sampai Bunda terus merasa ada di dalam larangan Ayah, Bunda nggak berani ngomong apa-apa,".
"Sekarang gimana, Bun? Masih ngerasa begitu?"
Bunda menggeleng, "Bunda kira, kamu mau nerima tanpa penjelasan apa-apa. Ternyata Bunda salah udah menyepelekan diamnya kamu,"
Aku tetap terdiam, walau perasaan marah sudah menyelimuti karena Bunda yang beranggapan bahwa cerita tentang Ayah bukan apa-apa dalam hidupku.
"Tepat ketika kamu nelepon Bunda udah sampai di Jogja, Ayah tiba-tiba nge-drop. Tubuhnya lemas habis muntah-muntah. Dadanya sesak sampai penuh keringat. Udah Bunda kasih obat, perlahan sakitnya berkurang. Namun, sejam setelahnya kumat lagi. Akhirnya Bunda bawa Ayahmu ke rumah sakit,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tehku dan Kopimu
Roman d'amourDi ujung waktu yang tak (pernah) kita tunggu Sebuah realita selalu berhasil menampar asaku Bahwa ... Teh manis yang kuseduh, dan kopi susu yang kauminum ... tak bisa bersatu. °°° Mari ikut tenggelam dalam kisah Kahvee dan Dista yang terus mencoba me...