Lampu Hijau

126 25 61
                                    

Di sebuah ruang tamu terdapat enam orang di sana. Empat di antaranya adalah sepasang orang tua, dan dua lagi adalah seorang pria dan seorang gadis. Empat orang tua itu adalah kedua orang tuanya Edwin, dan kedua orang tuanya Ila.

Kemarin siang Edwin sudah menceritakan semuanya tentang Ila kepada orang tuanya. Juga sudah menceritakan kesungguhan hatinya untuk melamarnya. Jadi hari ini Edwin dan kedua orang tuanya datang berkunjung ke rumah Ila.

"Jadi begini, putra kami memiliki niat baik terhadap putri bapak." Wawan angkat suara.

"Niat baik seperti apa?" tanya Nalwan—ayahnya Ila.

Sebenarnya Nalwan sudah tau niat baik yang dimaksud itu, karena semalam Ila sudah menceritakannya. Ila sudah menceritakan tentang Edwin yang akan datang ke rumahnya bersama kedua orang tuanya untuk melamar. Hanya saja Nalwan berpura-pura tidak tau.

"Saya ingin melamar Ila, Om."

Itu bukan lagi Wawan yang bersuara, melainkan Edwin. Edwin berbicara dengan lantang, namun kepalanya tertunduk dan seakan enggan untuk menatap ke depan.

"Yakin? Atas dasar apa ingin melamar putri tunggal saya?"

"Saya sangat menyukai Ila."

"Sungguh? Apa yang membuat kamu menyukainya?"

"Akhlaknya, rupanya, dan juga saya sangat menyukai perasaan yang saya miliki untuk dirinya. Selain itu, saya sangat mencintainya."

Nalwan hanya diam sambil menatap Edwin yang masih menunduk dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Angkat kepalamu."

"Maaf, tapi saya sangat tidak bisa melakukannya."

Nalwan mengangkat sebelah alisnya menandakan dia sedang kebingungan. Padahal Nalwan tidak menyuruh Edwin melakukan hal yang berat, tetapi Edwin tidak mau melakukannya.

"Kenapa?"

"Saya takut," jawab Edwin dengan jujur.

"Apa yang kamu takuti?"

"Ila. Saya takut saat kepala saya terangkat, saya tidak sengaja bertatapan dengan Ila. Saya tidak ingin itu terjadi. Biarlah seperti ini."

"Kenapa kamu tidak ingin melakukannya padahal kamu cinta padanya?"

"Justru karena saya mencintai Ila, saya tidak ingin menatapnya dan menimbulkan sebuah zina mata."

Wawan, Wiwin, Nalwan, bahkan Aqna—bundanya Ila tersenyum bangga kepada Edwin. Jawaban dari Edwin barusan benar-benar membuat mereka bangga. Nalwan dan Aqna jadi tidak segan untuk memberikan Edwin kepercayaan.

"Ayah, sepertinya semua yang Ila katakan tentang Edwin itu benar," kata Aqna yang dibalas oleh sebuah anggukan kepala dari Nalwan.

Tunggu dulu? Semua yang Ila katakan tentang Edwin? Jadi maksudnya Ila menceritakan semua tentang Edwin kepada kedua orang tuanya?

Ila yang dari tadi hanya diam, mati-matian menahan rasa malunya. Ya, memang benar Ila menceritakan semua tentang Edwin kepada kedua orang tuanya. Tentang bagaimana awalnya Ila menyukai Edwin. Tentang sifat dingin Edwin yang sudah mencair. Tentang ketaatan Edwin terhadap agamanya. Dan tentang bagimana Edwin begitu menjaga Ila dari perbuatan zina. Tapi seharusnya orang tuanya tidak mengatakan itu di depan Edwin. Kan, Ila jadi malu.

"Ila bilang kalau kamu itu pria yang baik, yang sangat jauh dari perbuatan zina. Bahkan beberapa tahun lalu saat kalian masih berusia belasan tahun, kamu pernah menegur Ila karena kepergok sedang menatapmu, kan?"

Ah, kejadian itu. Itu saat Edwin sedang melatih acara qosidahan yang kebetulan Ila adalah salah satu orang yang dilatihnya. Dan saat itu Ila memang sedang curi-curi pandang dengan Edwin, dan Edwin memergokinya. Itu kejadian yang sudah beberapa tahun lalu sebelum mereka memasuki kepala dua.

Kejadian saat Ila kepergok sedang curi-curi pandang itu sudah cukup membuat Ila malu, dan sekarang ia harus merasakan malu lagi karena Aqna secara terang-terangan mengatakan itu kepada Edwin. Padahal bukan hanya Ila yang kepergok sedang mencuri pandang dengan Edwin saat acara qosidahan itu, tapi sahabatnya Sri juga. Itu adalah moment waktu Sri masih belum falling in love with Addan. (baca, Rohis vs Gus Pesantren).

"Bunda...jangan dilanjutin ceritanya, Ila malu," cicit Ila.

Tanpa Ila sadari, Edwin sedang terkekeh kecil karena kelakuannya. Sungguh Edwin merasa sangat gemas dengan calon istrinya itu.

Aqna hanya tertawa mendengar Ila. Ia tampak tak menghiraukan apa yang Ila ucapkan, dan memilih terus mencertikan kembali kepada Edwin.

"Kamu tidak ingin bertemu dengan Ila demi menghindari zina, dan lebih memilih berkomunikasi lewat doa, kan. Bahkan kata Ila kamu pernah bilang gini, sebutlah namaku dalam doamu."

Kali ini bukan hanya Ila yang malu, tapi juga Edwin. Bahkan pipi mereka sama-sama memerah. Memang dasarnya sehati, jadi apa aja selalu samaan.

"Udah, Bun, udah. Kasian pipi Ila sampe merah gitu," ujar Nalwan yang membuat Aqna jadi berhenti menggoda putrinya.

Duh, calon bini gue lagi blushing. Pasti rupanya semakin anggun. Jadi pengen cepet dihalalin. Edwin membatin.

Wawan dan Wiwin yang mendengar perbincangan itu hanya diam sambil menyimak layaknya seekor nyamuk.

Seketika suasana menjadi hening.

"Edwin."

Suara berat khas bapak-bapak milik Nalwan berhasil memecah keheningan.

"Iya?"

"Kamu mencintai putri saya?"

"Ya, saya sangat mencintainya."

"Ingin menikahinya?"

"Ya, saya sangat ingin."

"Saya restui."

"Saya juga," sambung Aqna.

Edwin tersenyum sumringah begitu mendapatkan lampu hijau dari orang tua Ila. Dia jadi semakin tidak sabar untuk mengatur acara pernikahannya dengan Ila.

Sebentar lagi aku akan menjadi suamimu, Ila. I love you, calon istri.

*
*
*

Edwin dapat lampu hijau, guys. Gimana tanggapan kalian?

Btw Abi Wawan sama Ummi Wiwin jadi nyamuk tuh, wkwk. Kasian amat.

Btw jangan lupa tekan tombol vote-nya🤗.

See you next part👋🏻👋🏻👋🏻

Romantic Weird Couple(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang