Apa Rencananya?

67 17 18
                                    

Niat untuk pergi ke warung seblak, malah berakhir pergi ke rumah sakit.

Di depan salah satu ruangan rawat, Edwin dan Ila menunggu dengan cemas.

"Andai aja aku lebih hati-hati," gumam Edwin.

Melihat suaminya yang terus menyalahkan dirinya sendiri seperti sekarang ini membuat Ila jadi tidak tega. Padahal sebenarnya ini bukanlah kesalahan Edwin.

"Mas, kamu udah hati-hati. Ini semua murni kecelakaan." Ila berusaha menenangkan Edwin agar dia tidak terus-menerus menyalahkan dirinya.

"Kalau aku hati-hati, kecelakaan ini nggak mungkin terjadi, Ilano."

"Ini namanya musibah, Mas. Yang namanya musibah bisa datang kapan aja tanpa kita duga, bahkan meski kita udah hati-hati sekalipun. Kamu bukannya nggak hati-hati, tapi memang semua ini murni musibah."

Perkataan Ila barusan seketika membuat Edwin tersadar bahwa berlarut-larut menyalahkan diri sendiri itu tidak baik. Dan memang benar apa yang Ila katakan, musibah bisa datang kapan aja tanpa kita duga, bahkan meski kita udah hati-hati sekalipun. Lagipula kecelakaan tadi memang bukan kesalahan Edwin.

Ila tadi melihat sangat jelas bahwa ada seorang wanita yang dengan sengaja berlari ke arah mereka saat mobil Edwin sedang melaju. Wanita itu seperti sengaja ingin membuat dirinya sendiri celaka.

"Makasih, Ilano."

"Makasih untuk apa?"

"Makasih untuk kalimat yang tadi kamu ucapkan. Aku bersyukur ada kamu di sampingku. Aku bersyukur tuhan kasih aku istri sebaik kamu, yang selalu bisa memberikan aku ketenangan dan kenyamanan."

Ila langsung berhambur ke pelukan Edwin. "Nggak usah berterima kasih, Mas. Aku melakukannya dengan senang hati. Dan aku juga bersyukur karena telah memiliki suami seperti kamu. Suami yang selalu menuntun aku ke arah kebenaran."

Rasanya damai. Pelukan yang damai. Pelukan yang berhasil membuat Edwin merasa tenang.

Ceklek!

Seketika Ila langsung melepaskan pelukannya dari Edwin saat mendengar dokter membuka pintu ruangan rawat itu.

"Dok, bagaimana keadaan Tamara?" Ila adalah orang pertama yang menanyai kabar itu.

Tamara adalah orang yang tadi tidak sengaja Edwin tabrak. Orang yang terlibat kecelakaan tadi.

"Tamara baik-baik saja. Beruntung sekali lukanya tidak parah. Hanya saja dia mengalami cidera kecil pada tangan dan kakinya."

"Alhamdulillah."

Tentu saja lukanya tidak parah. Itu karena mobil Edwin tidak melaju dengan cepat waktu menabrak Tamara tadi.

Edwin langsung melewati dokter yang berada di depan pintu, dan langsung bergegas menghampiri Tamara.

Ada rasa sakit hati pada Ila yang melihat Edwin sebegitu peduli dengan Tamara. Jika saja Tamara bukan merupakan bagian dari masa lalu Edwin, mungkin Ila tidak akan sakit hati seperti sekarang. Tapi untuk sekarang ini Ila mencoba semaksimal mungkin untuk tidak berpikiran buruk.

Ila pun ikut masuk ke dalam ruangan rawat itu.

"Gimana keadaan lo, Tamara?"

"Gue baik kok, Win. Makasih udah bawa gue ke rumah sakit."

"Nggak usah bilang makasih. Lagian gue yang harusnya minta maaf karena udah nabrak lo."

"Gue udah maafin lo, kok. Ngomong-ngomong lo nggak mau noleh ke arah gue, Win?"

Ck, sepertinya Tamara sedang memulai aksi capernya dengan Edwin. Sungguh menggelikan.

"Nggak maulah! Lagian ngapain juga suami gue mau noleh ke arah lo. Bukan muhram! Mendingan juga ngeliatin istri sahnya," celetuk ila.

Perkataan Ila barusan membuat hati Tamara sakit saat dia harus mengingat fakta bahwa Edwin sudah dimiliki orang lain. Orang lain yang jelas bukan dirinya. Rasanya sakit, tapi itulah faktanya.

Edwin menoleh ke arah Ila, melihat wajah Ila yang tampak cemberut. Melihat itu, Edwin mengerti sekali kalau istrinya itu sedang cemburu.

Edwin berjalan mendekat ke arah Ila, dan menangkup kedua pipi istrinya itu. Memandang wajah Ila dengan tatapan yang dalam. Tersenyum dengan ramah.
"Look at me, Baby."

Meski harus mati-matian menahan rasa gugupnya, tapi Ila tetap menuruti perkataan suaminya. Ila melihat ke arah Edwin.

"Anta habibati, zawjati. Apa yang aku lakuin ke Tamara, itu hanya sebatas perasaan bersalah karena aku ngerasa nggak enak udah nabrak dia. Selebihnya perasaan ini untuk kamu, sayang."

"Ingat dulu saat aku menyuruhmu menyebutkan namaku di dalam doamu? Diam-diam aku melakukan hal yang sama, Ila. Aku juga menyebutkan namamu dalam doaku."

Ila diam sambil menyimak. Menunggu kalimat selanjutnya yang akan Edwin katakan.

"Di saat doa kita terkabul dan kita menjadi sepasang suami-istri seperti sekarang, aku merasa sangat bahagia Ilano. Dan bahagiaku itu adalah kamu, nggak ada yang lain."

Detik berikutnya Edwin membawa Ila ke dalam pelukannya. "Jangan cemburu, sayang."

Ila langsung membalas pelukan itu. Hitung-hitung sekalian membuat Tamara kepanasan. "Aku percaya itu. Tapi tolong jaga terus kepercayaan aku, Mas."

"Iya, sayang."

Tamara merasa mual melihat pemandangan di hadapannya. Menurutnya itu sangat geli.

"Ekhem!" Tamara berdeham.

"Kalau cemburu cari cowo lain yang mau nikahin lo aja sono! Nggak usah sok-sok ngedehem lo, jamet!" celoteh Ila.

Tamara hanya bisa diam sambil mengumpati mulut julit Ila di dalam hatinya.

"Sayang, mulutnya," tegur Edwin yang langsung membuat Ila diam.

Perlahan Edwin melepaskan pelukannya dan langsung menatap Ila. "Berhubung tadi kita gagal pergi ke warung seblak, gimana kalau aku yang pergi keluar buat beliin kamu seblak. Nanti aku balik ke sini lagi."

"MAU, MAS, MAU!"

"Oke, tunggu di sini."

Edwin langsung pergi meninggalkan ruangan itu. Berniat keluar untuk membelikan Ila seblak.

Selepas kepergian Edwin, Ila dan Tamara tidak berhenti melemparkan tatapan tajam penuh akan permusuhan.

"Gue tau sebenernya lo nggak tertabrak, tapi sengaja menabrakan diri lo sendiri. Apa yang sedang lo rencanakan Tamara?"

Romantic Weird Couple(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang