Bab 08

68 12 0
                                    

Selamat membaca. Jangan lupa tandai typo!

20/Juli/2022




Ada hal lain yang lebih rumit dari sekadar menghitung
ketidakpastian pengukuran, yaitu memahami perasaan perempuan.

Rumah Singgah




Jam delapan tepat ketika kuliah pertama dimulai, masih terlalu pagi. Namun, kelas pagi itu terisi penuh. Mungkin karena sosok dosen berkacamata yang terkenal sadis akan nilai itulah yang membuat semua mahasiswa Fisika meninggalkan kasur empuk di kosan.

Profesor Zeka Ahmad, namanya. Beliau selalu dipanggil Prof Mamat. Agak melenceng memang dari namanya. Meski begitu prof Zeka terlihat santai dengan panggilan itu. Prof Zeka sedang berdiri di depan papan tulis sembari menuliskan beberapa penjelasan tentang Instrumentasi.

Beberapa mahasiswa terlihat sudah mulai bergerak gelisah. Ada yang bersandar di kursi, ada yang menguap, dan lebih parah ada yang diam-diam bermain ponsel.

Deretan kursi paling depan tidak ada yang banyak tingkah. Dan, Alif salah satu dari pengisi kursi bagian depan. Bukan karena laki-laki itu merupakan salah satu mahasiswa dengan otak cemerlang, tetapi karena dia adalah penanggung jawab untuk kelas Instrumentasi.

Prof Zeka berbalik, duduk di tempat dosen dan menyapukan pandangannya ke penjuru kelas. Kelas yang mahasiswanya berjumlah delapan belas orang memudahkan si profesor itu untuk menghapal nama dan muka mereka.

“Devi, ada apa? Kenapa senyum-senyum sendiri?” Dari kursinya, prof Zeka menatap sang mahasiswi yang sejak tadi terlihat cengengesan tak jelas.

Sontak saja semua mata tertuju pada Devi.

Sementara Devi berusaha menormalkan ekspresinya. Bibirnya terlihat komat-kamit sebelum menjawab pertanyaan sang dosen. “Maaf, Prof. Ini gara-gara Devan. Dia nulis pertanyaan aneh di bukunya.”

“Devan?” Prof Zeka beralih pada Devan, pelaku yang membuat Devi bertingkah layaknya orang gila. Senyum-senyum sendiri.

Devan yang kini menjadi kambing hitam mendengus pelan. Harusnya tadi dia segera menutup catatannya, bukannya malah membiarkan Devi membacanya.

“Maaf, Prof,” ucap Devan.

“Saya maafkan. Tapi bisa kamu bacakan pertanyaan aneh yang Devi bilang tadi?”

Mendengar perkataan prof Zeka, seketika Devan terbelalak. Yang benar saja, membacakan pertanyaan di bukunya? Devan pasti akan ditertawakan seisi kelas.

“Tapi, Prof ...,” Devan masih berusaha mengelak.

“Bacakan atau nilai kamu E!”

“Jangan, Prof. Sa-saya baca sekarang,” sahut Devan cepat. Lebih baik ditertawakan seisi kelas daripada harus mendapat nilai E. Bisa-bisa Devan dikuliti hidup-hidup sama ayahnya.

Sebelum membaca pertanyaannya, terlebih dahulu Devan menarik napas dalam. Berharap dia akan baik-baik saja setelah membaca pertanyaan aneh yang Devi katakan tadi.

“Jika instrumentasi sendiri dapat diartikan sebagai alat-alat ukur, dan dapat menghasilkan hasil yang akurat. Apakah instrumentasi dapat mengukur perasaan seseorang?”

Rumah Singgah [End] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang