Bab 04

107 12 0
                                    

Selamat membaca. Jangan lupa tandai typo!

06 Juli 2022




“Jadi, kapan aku bisa makan kue nastar buatan kamu?” Mata Alif tak berpaling dari layar ponselnya yang memperlihatkan wajah sang kekasih.

Tawa kecil terdengar dari bibir Sinta. “Sabar dong, Lif. Ini aku masih harus belajar, aku lho enggak mau kasih makan cowokku dengan nastar gagal,” ujar Sinta dengan wajah bahagia.

“Aku justru ingin makan kue nastar  gagal buatan kamu, Sin,” Alif tersenyum melihat wajah cemberut Sinta ketika dia mengatakan demikian, “karena aku ingin tahu seberapa keras usaha pacar aku. Aku ingin tahu kesulitan apa aja yang kamu lalui demi memberikan aku yang terbaik,” jelas Alif dengan lancar.

Air muka Sinta berubah seketika. Senyum bahagia tidak bisa lagi ditahannya. Begitu juga dengan debaran di dadanya yang meningkat drastis, dia kembali terbuai dengan kalimat sederhana dari Alif.

“Jadi, aku harap kamu enggak ragu buat kasih aku nastar kamu kapan pun. Dan aku nggak suka kamu memaksakan diri.”

Ya ampun! Ingin rasanya Sinta memeluk Alif detik ini juga. Laki-laki di seberang telepon sana benar-benar telah membuatnya klepek-klepek.

Lif?”

“Hm.”

Kamu enggak ada niatan nikah muda?”

Alif sempat terdiam sejenak, pertanyaan Sinta sepertinya terlalu berat untuk dia jawab saat ini. Boro-boro nikah muda memikirkan bagaimana mengenalkan Sinta pada kedua orang tuanya saja Alif pusing setengah mati. Tetapi, Alif perlu memberikan sebuah penjelasan. Tentunya tanpa menjatuhkan semangat perempuan kesayangannya.

“Kamu mau nikah muda?” tanya Alif balik.

Sinta menggeleng pelan. “Aku ... masih belum siap.”

Tanpa sadar Alif mengembuskan napas lega. Sebenarnya membahas tentang pernikahan diusia hubungan mereka yang seumur jagung ini tidak ada dalam perencanaannya.

“Sebenarnya aku juga sama, Sin. Aku dan kamu tahu kalau yang namanya pernikahan itu bukan perkara mudah. Cinta aja enggak cukup membangun rumah tangga, Sin,” terang Alif bijak. “Tapi aku pasti akan memberikan masa depan untuk hubungan kita. Kamu enggak perlu khawatir kita pasti akan sampai ke sana.”

Sinta yang menyimak penjelasan Alif diam-diam mengamininya. Alif entah mengapa selalu menjadi laki-laki dewasa yang bukan hanya matang pemikirannya, tapi juga luas wawasannya. Laki-laki seperti ini tak boleh Sinta sia-siakan.

Aku beruntung, ya, jadi pacar kamu. Secara kamu, tu, paket sempurna,” kata Sinta jujur.

Lengkungan bulan sabit di bibir laki-laki dua puluh satu tahun itu tidak surut. Dipuji oleh kekasihnya membuat Alif besar kepala.

“Bisa aja nih pacar aku. Ya udah, aku mandi dulu, ya.”

Lho, kamu belum mandi? Ini, kan, udah jam lima, Lif. Ngapain aja dari tadi?” tanya Sinta bertubi-tubi.

“Aku tadi ikut Bunda ke Panti, Sayang,” sahut Alif santai. Laki-laki itu kemudian bangkit dari tidurnya. Berjalan ke arah jendela dan menutupnya.

Rumah Singgah [End] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang