Bab 12

77 9 0
                                    

Aku pikir MATLAB dan maaf itu sama, sama-sama bisa menyelesaikan masalah. Tetapi, belakangan ini aku sadar jika maaf itu tidak dapat mengembalikan situasi seperti sediakala.


Rumah Singgah

***


Sinta mencuri pandang pada Alif yang tampak begitu serius menyetir. Selama dalam perjalanan, Alif hanya sedikit berbicara. Itu pun hanya memberikan sedikit wejangan dan semangat pada Sinta, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Saat ini, Sinta tidak bisa mendefinisikan bagaimana perasaannya. Tetapi, satu hal yang pasti Sinta bahagia. Sebentar lagi segala perjuangan dan kerja kerasnya akan membuahkan hasil. Dia hanya perlu melewati satu anak tangga lagi dan dia akan berada di puncak.

Namun, rasa gugup yang bersarang di benaknya tak bisa lepas begitu saja. Tidak peduli dengan genggaman tangannya dan Alif yang terasa begitu hangat menerpa kulitnya.

Apalagi saat mobil yang dikendarai Alif memasuki komplek perumahan megah yang menandakan semakin dekatnya mereka dengan tempat tujuan. Tanpa sadar Sinta menahan napas untuk sesaat.

Sinta memperhatikan dengan saksama beberapa rumah mewah yang berjejer di sisi kanan dan kiri. Meski berasal dari keluarga berada, Sinta tetap merasa takjub dengan rumah-rumah yang tengah dia lihat. Rumah-rumah mewah itu bergaya arsitektur Eropa. Melihatnya, Sinta jadi bertanya-tanya seperti apa rumah Alif. Apa semegah rumah yang dia lihat? Ataukah lebih dari itu?

Suara klakson mobil berbunyi, Sinta terkejut. Matanya dengan cepat tertuju pada pintu gerbang yang baru saja terbuka. Seorang satpam dengan gagah berani membukakan pintu gerbang.

“Makasih Pak Rudi,” kata Alif pada satpam yang berdiri di samping pintu gerbang.

Pria berusia tiga puluh tahun itu menganggukkan kepalanya disertai senyum tipis. “Sama-sama, Aden.”

Tepat saat mobil Alif memasuki pelataran rumah, Sinta dibuat kagum dengan pemandangan di depannya. Ternyata, rumah Alif jauh lebih besar dan mewah dari beberapa rumah yang dia lihat tadi. Saking terpesonanya dengan pemandangan di depannya Sinta sampai tidak sadar jika Alif tengah menatapnya.

“Sayang, kenapa?” Suara Alif menyadarkan Sinta.

Sinta sontak tersadar. Perempuan itu cepat-cepat menggeleng.

“Jangan khawatir, Ayah sama Bundaku orangnya baik.”

“Lif, aku takut. Gimana kalau Ayah sama Bunda kamu enggak suka sama aku? Gimana kalau aku ternyata enggak sesuai sama ekspektasi mereka? Lif, aku ...,” Sinta menunduk, menggigit bibirnya dengan perasaan cemas. Semua rasa percaya diri yang semula setinggi gunung kini mulai mengikis secara perlahan.

Telapak tangan Alif merangkum wajah Sinta, memaksa perempuan cantik itu untuk menatapnya. Dengan senyum lembut Alif mengecup kening Sinta, menenangkan segala keresahan di hati perempuan kesayangannya.

“Aku adalah perpaduan antara Ayah dan Bundaku, Sin. Separuh diri mereka di dalam diriku udah kamu buat bertekuk lutut. Jadi, kenapa harus ragu untuk menaklukkan separuh lagi bagian dari diri mereka?” tutur Alif.

Kedua mata Sinta berkaca-kaca mendengar ucapan Alif. Laki-laki di hadapannya ini selalu tahu caranya menenangkan segala macam badai ketakutan di dalam dirinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rumah Singgah [End] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang