Sembilan: Masih Tentang Cilo

180 23 6
                                    

Bukan sebuah rahasia lagi jika tak ada orang lain yang bisa mengalihkan perhatian Riki pada Taki sejauh ini.

Kecuali Cilo. Kucing belang Taki yang masih berusia lima bulan.

Seperti pagi ini. Taki sudah berkali-kali menekuk alis kesal sebab Cilo begitu clingy pada kekasihnya. Dari kedatangan pria Nishimura itu kemari, Cilo ikut menyambut sambil mengeong manis di depan pintu, membuatnya lantas dengan cepat terabaikan. Bukannya memberikan ciuman di dahi seperti biasa, Riki malah menyelonong masuk sambil menggendong Cilo dan membiarkan Taki sendirian ditemani pintu.

Benar-benar menyebalkan.

"Aku baru tau deh kalo kucing juga bisa jadi pelakor," gumamnya kesal. Riki di sofa sana masih sibuk mengelus-elus bulu halus Cilo yang berwarna gelap. Tak menyadari ekspresi kesalnya sama sekali.

"Riki kalo mau minum ambil aja sendiri, ya. Jangan manja kayak Cilo. Makan aja harus disiapin," gerutunya setelah berseru. Riki mendongak, memasang ekspresi kebingungan melihat si manis cemberut masam.

"Kamu kenapa, sayang?"

"Gak. Cuma lagi banyak tugas aja." Taki menjawab ketus. Dia dan Riki duduk cukup social distancing. Taki dengan segala buku-buku tugasnya di mini bar dapur sedangkan Riki duduk di sofa ruang tengah bermain dengan Cilo.

Riki menurunkan Cilo pelan-pelan dari pangkuannya. Lalu menghampiri Taki.

"Kok masih ngerjain tugas," tanyanya heran, tangan besarnya dengan halus mengusak rambut Taki. Wangi jeruk menguar setelahnya, Riki terkekeh. Shampo adiknya lagi.

"Kan PAT-nya udah selesai, sayang?"

"Iya, ada beberapa tugas yang lupa aku kerjain," jawab Taki singkat. "Riki boleh tolong ambilin penggaris gak? Ada di kamar."

"Oke." Riki mengecup singkat kepalanya sebelum berlalu ke lantai atas. Taki memendam senyum saat kembali fokus menulis. Niatnya mendongak ingin memandang Riki yang sedang berjalan menaiki tangga, namun makhluk kecil menyebalkan yang dengan susah payah mengekori pacarnya di setiap anak tangga membuatnya kembali mengeluarkan napas api.

"Dasar Cilo pelakor!"

[]

Siapa yang bisa memeluk Riki? Jawabannya hanya Bunda, Ayah, Kak Jake, Taki, dan Cilo.

Siapa yang bisa menghirup aroma maskulin Riki dengan leluasa? Jawabannya hanya teman-teman dekatnya, Bunda, Ayah, Kak Jake, Taki, dan Cilo.

Siapa yang sering dapat ciuman lembut dari Riki? Jawabannya hanya Bunda, Taki, dan Cilo.

Cilo, Cilo, Cilo di mana-mana.

Jangan-jangan, kucing kecilnya itu benar-benar berniat merebut Riki dari Taki?

"Bayi, laper gak sayang?" Riki sedikit berteriak, membuat Taki mendongak dari tugas terakhirnya yang harus dikerjakan, lalu fokusnya beralih pada layar ponsel yang kebetulan menyala karena notifikasi dari operator.

Sudah hampir jam sebelas siang. Dan keduanya menghabiskan waktu dua jam tanpa berbincang-bincang. Taki dengan tugas dan segala omelan terpendamnya terhadap Cilo, dan Riki yang terus bermain dengan Cilo itu sendiri. Taki menghela napas panjang.

"Laper ..." Suaranya tiba-tiba mengecil. Riki yang sedang mengangkat Cilo di udara langsung menengok. Diturunkannya sang kucing ke sofa. Lalu dia menghampiri Taki lagi.

"Ya udah mam dulu yuk, bayi. Udah dulu ngerjain tugasnya," katanya sambil menarik Taki ke pelukannya. "Masih ada enam hari lagi buat pengumpulan tugas. Sekarang udah dulu, ya? Dilanjut malem nanti aja."

Taki mengangguk kecil. Riki mengangkatnya dari kursi bar yang diduduki, memangkunya menuju sofa di mana masih ada Cilo.

Tapi kali ini, Taki yang menguasai pangkuan Riki.

1820 | Mutual Feelings (on hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang