Blurb:
"Brakk!" aku terjatuh karena menabrak seseorang, itu karena salahku sendiri, mengapa juga harus lari-lari di koridor segala.
"Kamu tidak apa-apa," tanya seseorang yang tadi kutabrak.
"Aku tak apa, maaf sudah menabrakmu," kataku dengan rasa b...
Kukira kau membalas rasa, tapi nyatanya kau hanya salah cinta _oOo_
Hari besoknya, hari itu adalah hari ke tiga aku menjalin hubungan dengannya. Semua terlihat baik-baik saja seperti hari-hari sebelumnya.
Tiba-tiba di sekolahku, ada isu baru, isu bahwa, Anggi teman sekelasku, ia menyukai Arhan. Tapi itu kata orang, bukan kata Anggi sendiri. Tapi, isu yang sedang menyebar saat itu, hampir membuat diriku meragukan seorang Arhan.
Arhan yang kutahu, ia laki-laki yang baik. Tapi apa mungkin yang mereka katakan?. Ah, sepertinya aku tak memikirkan hal itu.
***
“Hai!,” suara itu membuat aku terkejut, dan membuyarkan lamunanku.
Ternyata itu adalah suara Rita, sepertinya ia baru saja dari kantin.
“Kau ini, selalu saja buatku terkejut,” kataku dengan kesal.
“Iya-iya maafkan aku Cita,” jawabnya dengan cengengesan, “Kau mengapa melamun Cit?,” tanyanya lagi.
“Arhan,” jawabku singkat.
“Dengan Anggi tidak?,” tambah Rita dengan terkekeh, apa-apaan dia, apa..., dia sedang mengejekku?, menyebalkan sekali.
“Menurutmu, apa yang mereka katakan itu benar?,” tanyaku mulai serius.
“Aku belum bisa mengatakan iya, tidak bukti!, tapi... ada kemungkinan jawabannya adalah iya,”
***
Perkataan Rita waktu itu, membuatku semakin gelisah, sepertinya aku harus mencari tahu sendiri tentang ini.
Hari berikutnya, tepat malam harinya, aku kembali berbincang dengan Arhan. Lewat telepon. Seperti biasa, ia menanyakan kabarku, dan tentunya aku mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja.
Tetapi, di tengah perbincangan kami, aku mengingat perkataan Dino teman sekelasku, waktu diriku dan Rita pergi ke rumah makan kemarin sore. Saat itu aku dengan Rita sedang jalan bersama untuk sekedar mencari makan dan minuman.
Dan di sana kami bertemu Dino, sepertinya ia bersama temannya. Ia tiba-tiba menghampiriku dengan Rita, ia mengatakan, bahwa Arhan tidak pernah menyukaiku, akan tetapi menyukai Anggi.
“Cita, Rita ternyata kalian berada di sini?,”
“Iya,”
“Kebetulan sekali, sudah dari kemarin aku ingin bertemu dirimu,”
“Kau ingin bertemuku?, ada apa?,” tanyaku heran.
“Ini tentang Arhan, aku rasa ia tak benar-benar menyukaimu,”
“Maksudmu?,”
“Ya, aku rasa ia menyukai Anggi,”
Jujur aku juga mengira apa yang Dino kira, tapi aku tak ingin berpikir negatif tentang Arhan, tanpa adanya bukti.
***
Karena perkataan Dino, aku jadi semakin ingin membuktikan rasa penasaranku, aku langsung bertanya pada Arhan , malam itu juga.
“Kau tahu isu yang sedang teman-teman perbincangkan, tentang kamu dengan Anggi?,”
“Tahu, tentang kita kan?,” Aku semakin bingung dengan apa yang Arhan katakan.
“Tentang kita?,” aku kembali bertanya.
“Iya, isu itu, tentang kita, Arhanka Prahadi dengan Anggia Putri Utami, kekasihku,” jawabnya dengan tertawa.
Aku sungguh terkejut dengan jawaban yang Arhan lontarkan, apa tadi? Ia bilang Anggi kekasihnya, lalu aku ini apa?. Sontak hatiku terbesit rasa cemas dan takut, takut akan semua isu yang beredar di sekolah.
“Apa katamu?, Anggi adalah kekasihmu?,”
“Iyalah kekasihku dari dulu, memanglah Anggi, dan itu dirimu,” kata Arhan.
“Apa?, aku Anggi?,” tanyaku semakin tak paham dengan maksud Arhan kala itu.
"Mengapa kau seperti terkejut?,"tanya Arhan, sepertinya ia heran padaku.
“Karena aku bukan Anggi!.” Kataku sedikit kesal, karena Arhan yang menyebutku Anggi.
“Jadi kamu mengiraku Anggi selama ini?,” tanyaku lagi, sambil berusaha mengendalikan amarahku agar tidak kelepasan marah padanya.
“Katamu tadi, kau bukan Anggi, lalu kau siapa?,”
“Aku Cita, Rucita Arabhi Raharja!, apa kau tak mengenalku!,” jawabku dengan ketus.
“Oh, Cita gadis pendiam itu?,” katanya.
“Lalu mengapa kau mengira aku sebagai Anggi?,” tanyaku dengan penasaran.
“Karena Anggi yang memberiku kertas waktu itu,”
***
Benar katanya, memang Anggi yang memberi kertas pada waktu itu, tapi aku sama sekali tak pernah berpikir jika Arhan akan mengira diriku Anggi.
Dan yang paling buatku takut sekarang adalah perasaan Arhan, sebenarnya juga untuk Anggi bukan diriku.
“Lalu apa, kau juga menyukai Anggi?,” tanyaku dengan hati-hati.
“Maaf, tapi jawabanku iya,” Jawaban Arhan waktu itu membuat dadaku seperti teriris begitu saja, nyeri dan sakit rasanya. Kenyataan yang pahit menurutku.
“Arhan, maaf boleh kututup teleponnya sekarang?, aku sudah mengantuk,” aku meminta ijin padanya untuk menutup telepon, dengan alasan mengantuk, padahal itu karena aku sudah tak tahan dengan pengakuan Arhan.
“Baiklah, selamat malam Cita,” Sakit, sakit rasanya, malam itu aku menangis penuh isak karena telah tertampar oleh keadaan, keadaan bahwa yang ada di hatinya adalah bukan seorang Cita.
***
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.