The Music Equivalent Of A Hug

37 3 0
                                    


Akhirnya hari ini Maia memutuskan untuk bergabung bersama teman-temannya pergi bermain bulutangkis. Olahraga yang tak kurang sebulan 4 kali selalu dilakukan teman-temannya itu semenjak menjadikan Ranya sebagai ketua angkatan. Berbekal hoodie set, sandal jepit dan wajah ngantuk karena baru saja bangun tidur, Maia berjalan menuju gedung olahraga tempat mereka berjanji akan bertemu. Mendapati dirinya datang, sorak sorai dari teman-temannya tak kalah heboh dari ketika mereka menyuporteri dirinya dalam perlombaan atletik antar fakultas. Walaupun sudah ditawari langsung untuk bertanding dengan teman-temannya yang lain, Maia lebih memilih untuk menonton terlebih dahulu. Setidaknya satu kali pertandingan. Barulah ketika Chalya memenangkan ronde pertama itu, Maia akhirnya berani menerima raket pinjaman dari Chalya.

Karena masih ingin pemanasan terlebih dahulu, Maia memilih Ranya sebagai lawan. 7 tahun bukan waktu yang sebentar bagi Maia untuk bisa terbiasa lagi menggunakan raket. Namun ketika berhasil mengalahkan Ranya secara telak, barulah ia sadar bahwa ia sudah lebih dari cukup baik-baik saja. Ditambah lagi sorakan kagum dari teman-temannya yang lain yang mengira Maia tidak bisa bermain bulutangkis tapi ternyata malah sehebat itu.

Maka di ronde berikutnya, Maia sudah berani menerima tantangan untuk ganda campuran. Ia bersama Adrian akan melawan Chalya dan Darrel. Semangat Maia sudah menggebu-gebu sekarang. Sampai ketika tiba-tiba seseorang muncul dari pintu gedung olahraga ketika Maia sedang bersiap menyervis shuttlecock kepada Darrel. Dari pintu itulah muncul Yasa. Yang membuat Maia langsung menatap tak percaya pada Ranya. Ia tidak pernah tau kalau agenda bermain bulutangkis ini terbuka bagi seluruh angkatan.

Setelah menyapa Yasa sebentar, Maia bersiap melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi. Namun lagi-lagi fokus Maia teralihkan. Dari arah pintu gedung berjalan dengan santainya seorang laki-laki atletis yang sudah 7 tahun terakhir ini tidak Maia cari tau kabarnya. Maia mematung. Kedatangan laki-laki itupun disambut sama hebohnya dengan ketibaan Maia tadi.

"Akhirnya dateng juga lo Len"

"Atlet badminton kita nih boss"

"Len habis ini sama gue ya" yang barusan adalah Adrian. Yang berdiri tepat di sampingnya. Membuat laki-laki yang dipanggil 'len' itu mau tak mau juga melihat ke arahnya. Jantung Maia mulai berdegup tak wajar. Apalagi setelah laki-laki itu perlahan berjalan ke arahnya.

Begitu tiba di hadapan Maia, laki-laki itu langsung memberikan tamparan di pipi kanan Maia. Bukan rasa kesal ataupun marah yang digambarkan di raut ayu perempuan itu. Walaupun teman-teman Maia sudah terpekik bahkan sudah akan menyingkirkan laki-laki itu dari hadapan Maia. Namun Maia menahan mereka. Ia lantas tersenyum menatap laki-laki yang matanya sudah berkaca-kaca itu.

"Long time no see Gani"

"You told me you will never touch that f*cking racket again. What did I have seen just now?"

"And you told me that you will appear on TV because of your gold medal. Where have you been all this time?"

Pertanyaan itu sama bobotnya. Baik Maia maupun laki-laki itu sama-sama tidak bisa menjawabnya. Apalagi setelah 7 tahun tanpa keterlibatan satu-sama lain. Praktis, mereka kembali menjadi asing.

***

Adalah Achazia Galen Magani. Satu-satunya laki-laki yang berani menampar Maia. Sejatinya laki-laki itu pun enggan jika bukan karena sumpah dan janjinya pada Maia 7 tahun lalu. Pertemuan mereka pertama kali terjadi ketika Maia berusia 8 tahun dan Gani 7 tahun. Klub bulutangkis Maia lah yang menjadi saksi bisu bagaimana mereka tumbuh bersama hingga menjadi MVP di klub mereka. Bagi Maia, Gani tak lebih dari seorang adik, sahabat dan partner terbaiknya sepanjang ia berkarir menjadi pebulutangkis. Namun bagi Gani, Maia adalah segala-galanya. Maka ketika Maia memutuskan untuk pensiun dini karena cidera yang membuatnya gagal masuk ke tim nasional, Gani marah besar.

ConfelicityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang