BAB 7

465 104 27
                                    

Haloo!!
Apa kabarnya hari ini?
Semoga sehat selalu dan bisa menjalani hari-hari dengan baik ya ☺

Selamat membaca Bulan Prasbiru teman-teman!!

_____

Sepulang sekolah, aku bergegas ke perpustakaan, sedangkan, Arum dan Dira menuju ruang ekskulnya masing-masing. Tentu, aku tidak ikut serta dalam ekskul apapun. Aku tidak tertarik untuk meluangkan waktu pada kegiatan tersebut.

Selepas berhasil meminjam satu buku, aku pamit pada Arum dan Dira untuk langsung pulang duluan. Persis di depan gerbang, aku bertemu Kak Adam. Dia sedang berbicara dengan satu kawan kelasnya dan tiba-tiba beralih ke arahku. Basa-basi menanyakan bersama siapa aku pulang, kemudian, berujung menawarkan untuk diantar. Alih-alih dia bilang katanya searah.

Aku senyum ke arahnya. "Nggak usah, Kak. Aku mau ada urusan."

Kak Adam mengangguk. "Kapan-kapan boleh ajak Senja jalan?"

"Jalan gimana? Di sekolah juga 'kan suka jalan."

Dia terkekeh. "Lucu kamu."

Baru saja aku mau menjawab, tiba-tiba pandanganku teralihkan pada suara derum motor yang berhenti di seberang depan sekolah. Duta Prasbiru.

Demi Tuhan, aku tidak tahu tujuan dia berdiam di sana itu apa. Aku pula tidak mau geer kalau dia mau menjemputku. Toh, siapa aku sampai harus membuatnya meluangkan waktu untuk menjemputku?

"Kenal?" tanya Kak Adam.

Aku menoleh, lalu mengangguk. "Kenal, teman."

Lalu aku pamit dari Kak Adam dan menghampiri Duta.

"Hey!" sapanya ceria. "Baca apa di perpustakaan?"

Keningku mengerut. "Kok tahu aku habis dari perpustakaan?"

"Aku senang cari tahu tentang kamu," jawabnya.

"Kenapa senang cari tahu tentang aku?"

"Karena suka."

Aku senyum. "Oh."

Duta mendongak ke langit, lalu kembali menatapku. "Cuacanya teduh, mungkin karena kamu banyak senyum ke saya."

"Oh berarti kalau senyumnya nggak ke kamu cuacanya jadi panas gitu?"

Dia tertawa. "Mau bagaimana pun bentuk cuacanya, kalau kamu ada di bumi pasti jadi menyenangkan."

Kami saling tatap diiringi senyum.

"Saya lagi pusing."

"Pusing kenapa? Kamu sakit?" Nada bicaraku jadi sedikit cemas.

"Pusing mikirin gimana bentuk kalimat biar bisa mengajakmu pulang sama saya."

Kami saling balas senyum.

"Kamu kan suka bahasa, sering baca buku juga. Biasanya bentuk kalimat untuk laki-laki mengajak pulang bareng tuh gimana? Yang simple aja."

Aku berpikir sejenak. "Hm ... pulang bareng, yuk?"

"Yuk." Dia nyengir ke arahku. "Silahkan naik."

Dia benar-benar mengajakku untuk pulang bersamanya dengan cara seperti itu. Aneh, batinku. Tapi mau menolak bagaimana sedang memang dari lubuk hati aku menyetujuinya?

Hari itu aku dibawa entah ke mana bersamanya. Dia tidak memulai obrolan, aku ragu memulai pertanyaan. Sedangkan punggung tubuhnya terus saja membuat sabit senyumku mengembang. Aroma parfumnya memejamkan mataku untuk menikmati semilir angin yang teduh mengiringi kami berdua. Duh, Bandung menyenangkan sekali kalau diingat-ingat ya. Bumbu romantisnya tidak pernah memudar. Seperti perasaan yang kian tidak ada pemecah belahnya.

BULAN PRASBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang