BAB 10

439 85 6
                                    

SELAMAT MEMBACA BULAN PRASBIRU!!

Selamat melepas rindu ...
Semoga kamu sehat selalu ...

_____

Selama pelajaran dimulai, pikiranku tidak begitu aman terkendali arahnya. Terbang entah merujuk ke mana, gelisah sepanjang waktu bergerak. Memikirkan Pupa yang baru saja pulang, serta merta Duta Prasbiru yang entah bagaimana.

Kala guru matematikaku berseru meminta seluruh siswanya mengumpulkan buku tugasnya, aku terdiam kala mengobrak-abrik tasku yang tidak tersedia buku tersebut. Sekali dua kali kucoba terus mencari, alhasil tetap tidak ditemukan. Ah, sial. Itu pertama kalinya aku tidak mengumpulkan tugas matematika karena keteledoranku.

Seingatku, buku tersebut ada di dekat lukisan Duta Prasbiru. Kalau saja pagi tadi pikiranku tidak rancu karena Duta, mungkin buku tersebut tidak akan ketinggalan.

Aku diminta keluar kelas menuju ruang perpustakaan sebagai sanksinya. Aku diminta merangkum satu buku paket rumus matematika yang bahkan bukan ranah pelajaranku. Tetapi yasudah lah, aku mesti ikuti aturannya.

“Senja?”

Aku menoleh ke belakang lalu tersenyum samar pada Kak Biaska. “Hai, Kak.”

Ia duduk di sebelahku dengan sebuah buku tulis dan satu buku ekonomi dalam genggamannya. Diletakkan di depannya, kemudian, ia menoleh ke arahku. “Nggak ke kantin?”

Aku menggeleng tanpa membalas tatapannya. “Nggak, Kak Biaska sendiri?”

Dia tertawa kecil. “Nih, kena hukum disuruh nyalin satu buku paket karena lupa bawa buku tugasnya.”

Barulah aku menoleh dengan raut wajah bingung. “Kok sama? Aku juga dihukum karena lupa bawa buku tugasnya.”

Raut wajah kami berdua sama-sama terkejut bingung. Akhirnya, kami tertawa atas kesamaan tersebut. Yang awalnya aku agak cemberut atas hari buruk, bertemu Kak Biaska lumayan menghapus sedihku. Dia banyak cerita yang mungkin kali itu bisa dibilang tidak begitu membosankan. Kami mulai bertukar cerita tentang apa saja.

Dan aku tidak pernah mengerti mengapa aku bisa sepercaya itu melontarkan suatu kenyataan yang tidak pernah aku beberkan pada siapapun. Aku rasa Kak Biaska punya ruang yang bisa menyimpan rasa percayaku padanya. Aku menceritakan tentang keluargaku yang terpecah belah.

Mulai dari awal di mana bisa aku tercipta, Kak Biaska jadi orang pertama yang tahu keadaanku. Responnya tidak sesuai kekhawatiranku. Ia tidak terkejut, ia tidak menjauh. Wajahnya kala mendengarkan bicaraku terlihat serius namun tetap santai mendengarkan.

“Ya gimana ya, Kak, terkadang kekhawatiran lebih besar ketimbang keberanian ‘kan?”

Kak Biaska menyadarkan tubuhnya lalu tersenyum kecil. “Jadi, mau terus-terusan besarin takut ketimbang berani, gitu? Kalau begitu, kapan majunya? Gimana pun, lo harus membuka diri biar melaju ke step berikutnya.”

Aku menunduk sejenak sembari memutar-mutar asal penaku. “Bukannya aku takut sih, tapi lebih ke malas aja, Kak, buat bahasnya.”

“Beberapa hal memang terkadang nggak perlu dibahas, tapi bukan berarti lo nutupin itu semua seolah kayak lo belum terima keadaan yang sebenarnya.”

Aku menoleh, menatap wajahnya. “Kak Biaska jangan cerita ke siapa-siapa ya soal ini. Aku percayakan ini ke Kakak tanpa alasan. Tapi Kak Biaska jadi orang lain pertama yang tahu tentang kehidupanku.”

Tiba-tiba telapak tangan kanan Kak Biaska jatuh pada puncak kepalaku dan sekilas menguraknya. Ah, gila. Bahkan Duta saja belum pernah melakukan hal yang sedemikan. Mengapa degup jantungku jadi tak karuan?

BULAN PRASBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang