BAB 8

481 116 14
                                    

HALO !!
Apa kabarnya? Maaf sekali teman-teman aku baru bisa update lagi dikarenakan ada kendala yang mengharuskanku lepas beberapa pekerjaan untuk mengurus yang lebih utama dulu. Tapi inshallah, sekarang sudah mulai bisa produktif lagi! ☺

Langsung saja, selamat membaca Bulan Prasbiru ya !!

_____

“Kak,” ucap seseorang dari belakangku. Aku menoleh ke belakang lalu mendapati senyum paling teduh se-alam raya. Perasaanku yang habis dibuat patah rasanya meluruh sekejap.

“Pupa?”

Segera aku masuk ke dalam rumah dan jatuh pada pelukannya. Tuhan, kenapa tiba-tiba aku ingin Jakarta? Kenapa aku jadi tidak percaya bahwa Jakarta menyakitkan untukku?

Aku mendongak menatap Pupa. “Kakak rindu ….”

Tangan kanannya mengusap puncak kepalaku dengan senyum yang tidak pernah luntur sedari dulu. “Sebut mau apa, nanti dikabulin.”

Kulepas pelukan dari Pupa, lalu tersenyum. “Ketemu Pupa udah lebih dari cukup buat Kakak senang.”

Kata Pupa, Ayah Ibuku sedang keluar rumah entah ke mana sehingga Pupa di rumah hanya sendirian. Sesaat selesai mandi, Pupa tengah duduk di depan teras dengan sebatang rokoknya lalu tersenyum ramah ke arahku.

“Malam nanti, kamu nggak ada jadwal apa-apa ‘kan, Kak?” tanya Pupa padaku.

Aku duduk di sebelahnya sembari menggeleng pelan. “Nggak ada, Pa. Kenapa?”

“Jalan-jalan yuk?”

Kutatap wajah Pupa dengannya senyum cerianya lalu mengangguk senang.

Sekitaran pukul tujuh malam, Ayah dan Ibuku pulang. Pupa izin pada Ayah untuk membawaku jalan-jalan seputaran Bandung karena besok pagi Pupa harus kembali ke Jakarta. Sebenarnya sedih karena menampung rindu sendirian itu sesaknya buat kepalang.

Pupa meminjam motor Ayah karena aku menolak untuk naik mobil, khawatir macet dan sedikit luang waktu untuk menghabiskannya bersama Pupa. Kusalami tangan Ayah lalu menatapnya penuh arti. Malam itu, besar sayangku harus benar-benar bisa adil terbagi untuk mereka. Aku menyayangi Ayah, tetapi Pupa adalah hidup dan matiku.

“Jagain anak gue, nyet,” ucap Ayah ke Pupa.

Pupa tersenyum miring. “Bacot.”

Ayah melipat tangannya di depan dada sembari jalan bersamaku ke depan pagar. Kadang suka lintas pikir, mengapa bisa Pupa setulus itu hatinya menerima keruhnya posisi? Aku pikir, selepas aku diboyong Ayah ke Bandung, Pupa akan melepasku. Membiarkan aku dibesarkan oleh Ayah tanpa jangkauan pandang dirinya. Tetapi ternyata tidak, Pupa masih menjadi bagian terbesar dalam hidupku.

Aku menatap punggung Pupa dalam diam dan bisikan. Kenapa ya, rasa nyaman ke Pupa teramat besar membanting posisi Ayah di hidupku. Bukan masalah status ekonomi atau apapun yang menyangkut pada keadaan yang membedakan caraku diperlakukan. Tetapi bagaimana perasaan bisa lebih tahu ruang ternyaman pada kala. Cara Pupa lebih menyentuh lebam lukaku sehingga ingin peluk selama-lamanya.

Motor bergegas keluar dari gang mengarah Jalan Karapitan. Aku memang tidak tahu mau dibawa ke mana karena sepanjang jalan itu aku dan Pupa menghabiskan waktu dengan bercerita. Ia merindukanku, katanya. Merasa kesepian ketika melihat ruang kamar yang tidak dihuni diriku lagi di sana. Meskipun ada Zhaigam, tetapi kepada siapa Pupa bisa memanjakan anak perempuannya?

BULAN PRASBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang