Bagian 1

3.3K 17 1
                                    

"Dim, Bapak mohon maaf padamu. Sepertinya ... tahun ini belum bisa kuliah dulu." Kedua mata Pudin berkaca-kaca. Raut penuh kerutnya kini tampak kian muram. Ditatapnya lekat wajah anak lelaki satu-satunya tersebut.

Ardimas, namanya. Umurnya baru memasuki angka 20 tahun. Lelaki bertubuh tinggi dengan lengan berotot sekaligus penuh urat akibat terlalu giat bekerja itu runtuh hatinya. Cita-cita untuk berkuliah di jurusan teknik sipil yang telah lama dia idamkan, akhirnya harus pupus juga.

"Iya, Pak. Nggak apa-apa." Dimas, begitu dia dipanggil, hanya bisa tersenyum getir. Diraihnya kedua tangan tua milik sang bapak. Kasar, begitu yang dirasa oleh Dimas. Tangan kasar itulah yang menghidupi tiga orang anak tanpa merasa lelah. Tak sampai hati bagi Dimas untuk menuntut Pudin yang hanya seorang kuli bangunan dengan penghasilan tak seberapa itu.

"Bapak boleh minta tolong padamu, Dim?" Pudin bertanya lagi. Agak ragu sebenarnya. Hati Pudin berat untuk merepotkan putra sulungnya. Namun, apa boleh buat. Pada Dimaslah dia bisa menggantungkan harapnya.

"Apa itu, Pak?"

"Mulai sekarang, Dimas bisa kan, kalau bekerja penuh membantu Bapak di proyek?"

Dimas mengangguk. Dikencangkannya genggaman di tangan sang bapak. Dimas tak punya pilihan lain.

"Bisa, Pak. Sangat bisa. Dimas akan bekerja sungguh-sungguh."

"Alhamdulillah. Bapak senang mendengarnya. Mulai lusa, kita akan mengerjakan renovasi rumah seorang nyonya. Kepala rombongan sudah menelepon Bapak kemarin. Dia kekurangan tenaga. Bapak bilang, Dimas pasti bisa membantu. Bapak senang ternyata kamu memang bisa membantu, Dim." Pudin yang memiliki tubuh kurus dan kulit legam itu langsung memeluk erat Dimas. Hatinya yang melankolis bertambah gerimis. Dia terharu. Dimas yang susah payah dibesarkannya sejak sang istri kabur dari rumah sepuluh tahun lalu akibat impitan ekonomi, kini telah bisa diandalkan. Tak dia sangka ternyata tangan kasarnya mampu membesarkan putra-putri yang berbakti.

"Dimas akan bantu Bapak. Bapak tenang saja. Semuanya demi Devi dan Diva." Dimas menyebutkan nama dua adik perempuannya. Keduanya adalah saudara kembar. Hanya selisih empat tahun dari Dimas. Sama-sama tengah mengenyam pendidikan di bangku kelas X SMA. Butuh banyak biaya. Dalam benak Dimas, kalau bisa kedua adiknya nanti harus berkuliah. Jangan menjadi kuli seperti dirinya.

"Masyaallah. Kamu selalu mengutamakan adik-adikmu. Bapak salut padamu." Lelehan air mata pun membasahi pipi Pudin yang berkerut.

"Tentu, Pak. Bapak, Devi, dan Diva adalah separuh hidupku."

"Ibumu juga. Jangan lupakan itu, Dim." Pudin meremas pundak anaknya. Mengusap perlahan air mata untuk menyembunyikan segala kesedihan yang mulai merasuki jiwa.

Dimas menggeleng. Lelaki berhidung mancung dengan dua mata cokelat tua yang dia dapat dari sang ibu tersebut tersenyum sinis. "Aku tidak punya ibu."

"Jangan bicara begitu. Kejadiannya sudah sangat lama. Maafkan dia."

Sampai mati pun Dimas tak akan mau. Begitulah prinsipnya. Baginya, ibu adalah kata terlarang dalam kamus kehidupannya.

"Tidak, Pak. Lupakan saja. Kita tidak butuh dia lagi. Kita juga tak perlu memaafkannya." Manik Dimas berkilat penuh dendam. Pria yang memiliki warna kulit asli kuning langsat tetapi berubah menjadi sawo matang sebab tersengat mentari saat membantu sang bapak bekerja itu pun menelan liur pahitnya.

"Ya, sudah. Kita bahas yang lain saja." Pudin yang berusia 54 tahun itu pun merangkul tubuh sang anak. Ditepuknya pundak Dimas beberapa kali. Coba dia tenangkan gejolak amarah sang putra.

Gairah Liar Sang Kuli TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang