Bagian 6

1.3K 17 0
                                    

Gaes, yang sayang sama aku, baca di Fizzo, yuk. Bacanya jangan lompat-lompat bab, ya. Kalau bisa baca dari Bab 1 sampai bab paling akhir. Gratis, kok. Ga usah beli koin.

BAGIAN 6
POV DIMAS

“Dim, kamu serius mau menikahi ibu-ibu itu, Nak?” Bapak yang sejak pulang dari rumah Madam Rosa hanya diam saja itu, kini mau berbicara padaku usai kami tiba ke rumah.

Aku yang tengah duduk bersebelahan dengan Bapak di sofa tua kami pun mengangguk. “Iya, Pak. Bapak dengar sendiri, kan, apa saja tawarannya.”

Bapak senyum. Dia terdengar menarik napas. “Ya. Bapak sebenarnya ada kekhawatiran, Dim. Kira-kira, dia itu tahu kamu dari mana ya, sebelumnya? Apa sudah lama mengincar?”

Bapak yang kukira polos, ternyata bisa juga berpikir sejauh itu.

“Nggak tahu, Pak. Dimas juga heran.” Aku mengendikkan bahu.

“Terus, apa janji-janjinya benar, Dim?” Mata tua Bapak mengerling. Seberkas kekhawatiran terpancar dari sana.

“Sepertinya benar. Dia tak mungkin berbohong, Pak. Firasat Dimas mengatakan begitu.” Selaian berpikir bahwa Madam Rosa tak mungkin bohong, aku juga berpikir kalau dia itu seorang wanita tua yang haus belaian pria. Kalau mau jajan gigolo di luaran sana, mungkin dia takut kena penyakit.

Namun, yang menjadi tanda tanya besar di kepalaku, kenapa harus aku? Apa istimewanya anak kuli sepertiku? Aneh!

“Terus, nanti kamu tinggal di rumah itu, Dim, kalau sudah menikah?” Kaca-kaca di mata Bapak membuatku jadi sedih.

“Iya, Pak. Nanti, Dimas akan minta pada Madam itu untuk membuatkan Bapak dan adik-adik rumah.”

Bapak menggeleng keras. “Tidak. Bapak hanya ingin tinggal di rumah ini. Setiap inci bangunan kecil yang kita diami ini, semuanya mengandung jutaan kenangan. Terutama kenangan tentang ibumu.”

Aku kesal. Lagi-lagi Bapak membahas sosok yang paling kubenci.

“Berhenti mengingat perempuan itu, Pak.”

“Tidak bisa, Dim. Susah. Jangan suruh Bapak melakukan hal yang mustahil untuk Bapak kerjakan.” Suara itu lirih dan dalam. Mengoyak selaput tipis bernama benci dalam hatiku. Tidak. Aku tak boleh terenyuh dengan bujukan Bapak. Sampai mati pun, Ibu akan tetap kubenci.

“Ya, sudah. Kalau begitu, Devi dan Diva yang akan menempati rumah baru. Biar saja Bapak diam di sini. Nanti, Bapak juga tahu, kalau merindukan orang tak berguna itu hanya membuat diri kita sendiri rugi.”

Tatapan Bapak bertambah murung. Pria lembut itu pun langsung tertunduk lemah. Sebenarnya, aku menyesal menyinggung hati Bapak. Cuma, egoku sebagai seorang anak lelaki yang penuh luka batin menolak untuk menguatkan beliau. Aku benci pada Ibu dan seharusnya Bapak juga demikian. Bukan malah makin mengingat atau membelanya!

Kami berdua akhirnya saling diam untuk beberapa saat. Sampai akhirnya, Bapak yang membuka suara duluan.

“Dim, kamu itu … nggak kaget pas si Madam mengajakmu menikah?” tanyanya dengan wajah yang mulai cerah.

Aku mengangguk. “Tentu saja, Pak. Satu, aku tidak kenal dengannya. Dua, omongan Madam Rosa itu sangat di luar nalar. Aku malah sempat berpikir kalau dia adalah orang gila atau kurang waras.”

“Lalu, kenapa kamu akhirnya mau menerima, Dim?”

“Harta, Pak. Setelah dia menjanjikan harta untukku, aku pun langsung mau. Apa susahnya mengawani dia tidur sih, Pak? Semua lelaki juga bisa.” Aku berucap enteng.

“Hush! Bicara apa kamu, Dim! Tidak boleh begitu. Yang namanya jadi suami itu tanggung jawabnya sangat besar. Dunia akhirat!” Suara Bapak mulai meninggi.

“Dia kan, hanya ingin ditemani, Pak. Bukan untuk ditanggung jawabi,” sanggahku tak mau kalah.

“Ngawur kamu, Dimas!” Bapak menepuk pundakku. Cukup keras. Tentu aku kaget.

“Lha, salahku di mana?”

“Pemikiranmu yang salah! Setiap laki-laki yang menikahi seorang perempuan, baginya wajib untuk bertanggung jawab. Bukan hanya sekadar memberikan nafkah batin saja.”

“Madam Rosa menolak uang dariku. Bapak kan, dengar sendiri.” Aku semakin enggan dibantah. Meski oleh Bapak sendiri.

“Kalaupun kamu tidak bisa memberikannya uang, setidaknya kasih sayang tulus. Perhatian penuh. Berdosa kamu kalau tidak bisa membahagiakannya.”

Dahiku langsung berkerut. Ini kan, hanya sebuah pernikahan kontrak. Kenapa aku harus berkewajiban untuk membahagiakannya segala?

Bukannya aku dan Madam Rosa ini seperti sedang bertransaksi? Aku memberikan nafkan batin, lalu Madam Rosa memberikan sebagian hartanya. Ini bukan prostitusi, ya. Sebab, Madam Rosa sendiri inginnya kami mengurus berkas pernikahan ke KUA yang artinya pernikahan itu legal di mata agama dan negara.

“Ah, jangan bahas yang berat-berat, Pak. Nanti saja. Itu urusan belakangan.”

“Dimas, Dimas. Kamu ini ternyata ngawur juga jadi anak. Bapak kira, pemikiranmu itu luas dan memiliki integritas.”

Aku hampi menyemburkan tawa. Integritas? Kuli bangunan seperti Bapak ternyata tahu juga kata-kata intelek seperti itu.

“Pak, integritas itu emangnya apa, sih?” tanyaku dengan mimik lucu.

“Ah, itulah pokoknya! Kamu ini, sama orangtua ngebantah aja. Tumbenan!” Bapak mengacak-acak rambutku. Aku malah tertawa sambil mengelak.

“Soalnya Bapak keras kepala. Sudah dikasih tahu kalau tidak usah mikirin si Ariani, eh, malah ngeyel. Dasar bapak-bapak ngeyelan!” olokku.

Bapak hanya bisa tersenyum kecut. Karena apalagi kalau bukan nama Ibu kusebut tanpa rasa hormat sedikit pun. Biar saja. Aku tidak peduli.

***

Greta : Dim, kamu di mana?
Greta : Dim, aku telepon, ya? Tolong angkat. Please 😭😭😭
(Panggilan suara tak terjawab)
(Panggilan video tak terjawab)
Greta : Kamu marah ya sama aku, Dim? Aku minta maaf.
Greta : Jangan nyuekin aku, Dim. Aku nggak bisa diginiiin 😓

Aku yang baru saja mengempaskan tubuh di kasur tipis kamar sempitku itu pun hanya bisa menatap nanar ke arah layar percakapan antara aku dan Greta. Beberapa pesan masuk darinya. Ada pula panggilan suara maupun video yang tak terangkat.

“Apa maksudmu, Ta? Bukannya kita tidak selevel?” kataku sinis pada diri sendiri, seakan si Greta bisa mendengarkan suaraku.

Geram dan kesal campur satu. Laki-laki mana yang merasa tak jatuh harga dirinya, saat cinta ternyata bukanlah hal utama. Kuliah menjadi tolak ukur seberapa pantas sebuah hubungan bisa dirajut. Menjijikan.

Sekaya apa Greta dan bapaknya? Apa mereka yang punya bumi ini? Tidak, kan?

Lihat Madam Rosa. Dia memang sudah tua. Kami belum kenal baik, tapi aku sudah bisa menebak kalau dia bukanlah orang sembarangan. Rumah klasik yang berdiri di atas tanah luas dengan halaman besar nan indah itu, bukannya tak memakan banyak biaya untuk perawatan sehari-hari. Nyonya cantik itu pasti sangat kaya raya.

Akan tetapi, adakah Madam Rosa menilaiku dari segi kasta? Anak kuli, tamatan SMA, dan tak punya harta ini, malah dia ajak untuk menikah.

Dunia memang sudah gila. Semuanya seperti saling berkebalikan. Membuat kepalaku tak ayal mau pecah saking pusingnya.

Aku pun memutuskan untuk membalas pesan Greta. Sebuah pesan yang kuharap bisa menyakiti relung hatinya, seperti dia menyakitiku dengan kata-kata menusuk di perpustakaan tadi.

[Jangan menghubungiku lagi. Papamu bisa membunuhmu kalau tahu kamu masih menghubungi cowok berpendidikan rendah sepertiku.]

Puas. Aku sangat senang bisa berbuat setega itu pada Greta. Biar saja dikata tak berperasaan. Memang sudah semestinya aku begitu. Lihat saja nanti, Greta. Saat aku sudah kaya raya dan berkuliah di tempat bonafide, maka seleraku bukan kamu lagi!

(Bersambung)

Baca di Fizzo, gaes. Jangan lupa ya.

Gairah Liar Sang Kuli TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang