Bagian 9

2.4K 12 1
                                    

BAGIAN 9
POV DIMAS

“Cepat ke mari!” Pekik Madam Rosa membuat lamunanku sontak buyar. Aku pun langsung menoleh ke kiri dan kanan. Setelah dirasa aman, lekas kaki ini berlari menyebrang mendatangi mobil si nyonya besar.

Aku langsung masuk ke kursi penumpang sebelah kiri. Duduk di sebelah Madam Rosa yang tampil elok dalam balutan gaun selutu warna merah. Rambutnya hari ini digerai hingga bahu. Kemarin seingatku ikal. Pagi ini malah sudah lurus seperti habis dicatok.

“Kenapa kamu bengong kaya orang bego begitu?” Madam Rosa kelihatan risih. Sontak aku kaget sebab sudah melongo lagi untuk ke sekian kalinya.

“Maaf, Madam!” seruku sambil menarik napas dalam.

Madam yang memulas bibir tipisnya dengan lipstik warna merah bata itu pun senyum semringah. Menyibak rambut lurus dan memainkan liontin kalung emas putihnya. Sumpah, aku grogi sekali duduk di sebelah Madam Rosa.

“Madam, kita ke mana sekarang?” Seorang pria berjas hitam di kursi kemudi itu bertanya. Aku melongok demi melihat rupa si sopir. Seorang pria berkepala plontos licin dengan kacamata hitam yang bertengger di atas batang hidung besarnya. Lelaki itu menoleh lewat kaca spion depan dan sialnya mata kami kini saling bersirobok. Cepat kualihkan pandangan ke luar jendela.

“Ke penjahit jas langgananku, lalu ke studio foto. Oh, ya. Setelah itu mampir ke KUA. Oke?”

Aku menelan liur. Padat sekali jadwalku hari ini ternyata. Kutengok lagi tampilan dari ujung ke ujung. Sumpah, penampilanku malah lebih mirip gembel ketimbang calon mempelai pria yang hendak mengurus kawin.

“Madam, maaf. Sandalku jelek sekali. Madam pasti malu kalau mengajakku foto,” ucapku malu-malu saat mobil mulai berjalan.

“Jangan bodoh, Dimsay.” Perempuan itu mengibaskan tangannya ke depan mukaku. Membuatku jadi terkesiap semakin malu.

Aku agak risih mendengar Madam memanggilku Dimsay sebenarnya. Menjijikan, pikirku. Terlalu lebay. Bahkan mengalahkan panggilan sayang anak SMA di sekolahku dulu.

“E-eh, iya, Madam.”

“Eits, kau bilang apa tadi? Bukannya kemarin kita sudah sepakat kalau kamu harus memanggilku ‘sayang’?”

Madam merengut. Bibir tipisnya mengerucut seperti ikan mas koki.

“E-eh, i-iya, Sayang.” Sumpah, rasanya merinding. Geli sekali. Madam memang cantik sekali hari ini. Kuperhatikan baik-baik pun, wajahnya sangat minim kerut. Hanya tulang lehernya saja yang tampak dan terdapat garis halus. Selebihnya kencang. Namun, bagaimanapun tetap saja perempuan ini sudah tua, kan? Bayangkan, aku harus memanggilnya sayang segala. Apa aku tidak tulah?

“Anak pinter!” Madam Rosa mengusap-usap kepalaku. Aku terpaksa senyum. Senyum risih sebenarnya.

Sialnya, Madam Rosa malah mencium tangan bekas usapan di kepalaku. Aku terkesiap. Rasanya mau menghilang saja dari muka bumi ini saking malunya.

“Apek!” keluh Madam dengan muka jijik.

“Maaf, Sayang! Tadi samponya habis,” kataku sambil menggaruk kepala. Duh, bikin malu saja!

Sopir di depan malahh terkekeh. Kurang ajar, pikirku. Awas saja ya kamu, pak sopir. Kalau aku sudah resmi menikah dengan Madam Rosa, sampo harga sejuta pun kubeli setiap harinya!

“Ngomong dong, Dimsay! Jangan kaya orang susah begitu!” Madam Rosa setengah membentak. Matanya agak membelalak besar padaku. Perempuan berkulit putih itu layaknya seperti seorang ibu yang ngamuk pada anak nakalnya. Duh, jadi malu aku.

“Hehe.” Aku bingung mau jawab apa. Baiknya aku tertawa saja sambil memasang wajah tolol.

Madam terlihat membuka tas kulit berwarna merah yang tengah dia pangku. Tas dengan rantai berwarna emas itu pun kini terbuka dengan jubelan isi yang sekilas tampak di mataku. Ada dompet panjang warna cokelat dengan motif sebuah merek mahal terkenal, lalu botol parfum, kotak permen, dan sisanya entah apa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gairah Liar Sang Kuli TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang