Bagian 4

1.3K 17 0
                                    


BAGIAN 4

"Pagi. Tidak perlu minta maaf, asal jangan diulangi!" Madam Rosa menyahut dengan suaranya yang renyah dan manja. Perempuan berkulit putih itu langsung melempar pandangan ke arah Dimas.

Ah, sempurna, begitu desahan hati si Madam. Sosok tinggi atletis Dimas seketika membuatnya terpesona. Meskipun potongan rambut Dimas agak kurang rapi dan acak-acakan, tapi tak mengurangi sedikit pun ke-estetik-an makhluk kreasi tangan Tuhan tersebut. Madam Rosa berpikir bahwa dia sedang berhadap-hadapan dengan seorang pria idaman yang digilai banyak wanita.

"Silakan masuk. Jangan mematung begitu!" kata Madam Rosa usai beberapa detik terpaku menatap Dimas yang kini merinding hebat sebab ditatap dengan belalakan besar barusan.

Pudin dan Dimas kompak melepaskan alas kaki mereka. Melihat itu, Madam Rosa langsung berteriak. "Tidak usah lepas sepatu! Khusus untuk kalian, kuperbolehkan menginjak rumahku dengan alas kaki."

Bapak dan anak itu pun gegas kembali memasang sepatu mereka. Takut-takut keduanya masuk sambil bergandengan tangan. Duduk di atas sofa mahal nan empuk milik Madam Rosa yang harganya puluhan juta tersebut.

"Nyonya, saya Pudin. Dan ini adalah anak saya, Dimas. Dialah yang akan membantu proyek ini, Nyonya."

"Jangan panggil Nyonya! Panggil saya Madam!" Madam Rosa yang duduk dengan menyilangkan kaki tersebut berucap sambil sedikit mendelik.

"B-baik, Madam." Ralat Pudin dengan mulut gemetar.

"Siapa bilang dia akan membantu di proyek ini!" Madam Rosa tiba-tiba memasang muka sinis.

Pudin dan Dimas pun saling tatap. Keduanya sama-sama berdebar-debar. Tak pelak, telapak tangan Dimas pun kini dipenuhi oleh keringat dingin.

"J-jadi ... anak saya tidak diperbolehkan untuk bekerja di sini ya, Madam?" Sedih bukan main hati Pudin. Dia marah pada dirinya sendiri sebab tak mencari keberadaan Dimas, alih-alih hanya menunggunya di depan rumah. Andai dia lebih berusaha lagi, pasti Dimas bisa ditemukan lebih awal dan tak membuat si Madam kecewa.

"Ya, anak Anda tidak bisa bekerja di sini!" Nada suara Madam Rosa mencelat.

Dimas langsung menatap bapaknya. Dia pun ikut merasakan kesedihan yang mendalam. Dia menyesal, kenapa pagi ini harus menemui Greta sialan itu. Seharusnya, dia berada di rumah saja, bukan malah pergi ke perpus kota untuk mendatangi perempuan mata duitan tersebut.

"Madam, saya mohon sekali. Izinkan anak saya bekerja. Dia bisa melakukan apa pun yang Madam suruh. Saya jamin." Pudin kini turun dari sofa. Duduk bersimpuh dengan dua lutut yang ditekuk. Matanya sudah berembun dan sebentar lagi meneteskan air mata ke pipi.

"Ya, Madam. Saya bisa melakukan apa pun. Tolong, terima dan maafkan saya." Dimas ikut langkah sang bapak. Duduk berlutut di depan Madam Rosa dengan pembatas berupa meja kaca yang mahal dan bertaplak kain batik warna cokelat.

"Oh, ya? Kamu bisa melakukan apa pun?" Pancing Madam Rosa dengan senyuman licik.

"Ya, Madam. Saya bisa mengayak pasir, membuat bata, memplaster, bahkan memasang keramik lantai." Dimas menunduk. Menurunkan nada suaranya dan menahan sesak di dada bidangnya.

"Terus? Hanya itu kemampuanmu?" Madam Rosa semakin melunjak. Dia kian besar kepala melihat si target begitu membutuhkan dirinya.

"Dia bisa melakukan tugas tambahan, jika Madam mau." Pudin buru-buru meyakinkan.

"Contohnya?"

"Membersihkan halaman, mengatur taman, atau menguras kolam ikan," sahut Dimas sambil menatap si Madam takut-takut.

Saat mata mereka saling bersirobok itulah Madam Rosa semakin tahu jika sasarannya bukanlah sembarang pria. Jelas, Madam Rosa bisa menangkap cahaya kecerdasan dari tatapan mata itu. Anak ini tidak bodoh maupun pandir. Dia pintar, berwawasan, dan bisa menjadi orang yang sukses, begitu pikir Madam Rosa.

"Kalau hanya melakukan itu, tukang lain pun bisa!" bentak Madam Rosa sembari menurunkan sebelah kakinya. Perempuan tua yang masih segar bugar dan energik tersebut sengaja berakting. Pura-pura marah, padahal dirinya tengah tarik-ulur dengan si mangsa.

Pudin dan Dimas pun hampir menyerah. Keduanya sudah kehabisan akal untuk meyakinkan si nyonya besar. Mungkin, bukan rejekiku, ucap Dimas dalam hati.

"Saya ... juga bisa membantu beres-beres rumah ini, Madam." Itulah senjata terakhir Dimas. Bila si Madam masih menolaknya mentah-mentah, Dimas bertekad untuk meninggalkan rumah ini secepat mungkin.

Madam Rosa pun dia. Dia duduk dengan posisi melipat tangan di depan dada. Wajahnya yang Indo dengan kulit putih bersih dan bibir tipis berbentuk hati itu diam-diam menatap Dimas lekat-lekat. Sangat macho, itulah ucap hati Madam Rosa. Dia jadi tak sabaran untuk lekas mempersunting perjaka muda belia tersebut.

Terserah Zidane dan Zaline mau ngomong apa! Aku tidak peduli. Toh, saat mereka sedang bersenang-senang dengan kehidupan masing-masing, mereka tak peduli dengan keadaanku di sini. Aku kesepian, sedih, dan sendiri, memangnya mereka mau ambil pusing? Pokoknya, aku ingin menikah! Apa pun konsekuensinya, aku siap menanggung. Madam Rosa bermonolog dalam benaknya. Tanpa sadar, sungging samar di bibir cantiknya pun tercipta. Dimas diam-diam memperhatikan perubahan ekspresi pada si nyonya rumah. Dalam hati Dimas menebak, pasti ada yang tak beres dengan perempuan dewasa tersebut.

"Kalau beres-beres rumah, sebenarnya aku sudah punya pembantu. Namun, kalau kamu bisa menjaga rumahku dan seisinya, mungkin aku akan izinkan itu." Madam Rosa dengan tubuhnya yang singset dan kulit halus yang enggan mengendur itu pun tersenyum lugas.

Dimas sontak menatap sang bapak. Pemuda itu tegang. Berbanding terbalik dengan Pudin yang malah senyum ceria.

"Bisa, Madam! Dimas bisa melakukannya untuk Madam. Dia handal dalam menjaga rumah. Dia bisa jadi satpam dengan tubuhnya yang besar tinggin ini." Dasar Pudin pandir. Dia tak paham maksud yang tersirat dari kata-kata si nyonya kaya yang dikiranya masih berusia 40 tahunan ke atas tersebut. Padahal, Dimas pribadi sudah mampu menangkap ke arah mana alur percakapan ini.

"Sungguh? Kau mampu, Dimas?" Madam Rosa teresenyum semakin liar. Barulah tampak garis halus di sudut bibirnya yang sudah dua kali operasi plastik tersebut.

Dimas tertegun. Dari tatapan mata itu, Dimas paham apa yang dimaksud Madam Rosa. Bukan sekadar penjaga rumah biasa. Tubuh pemuda itu pun seketika meriang. Bulu roma di sekujur badanya berdiri. Dia takut bukan main.

"Bisa! Dimas lihai, Madam." Yang menyahut malah Pudin. Penuh percaya diri pula.

"Oke. Tugasmu berat lho, Dimas. Menjaga rumah ini, harta bendanya, dan menjaga aku. Menjaga bukan hanya di dalam rumah, tetapi juga di atas ranjang."

Dimas terkesiap. Lebih-lebih Pudin. Kini, lelaki tua berkulit legam dengan telapak tangan kapalan itu pun paham apa yang diinginkan Madam Rosa.

Pudin dan Dimas sama-sama tak menduga, bahwa seorang nyonya kaya seperti Madam Rosa ternyata memiliki keinginan aneh dan menakutkan. Dimas bingung harus menjawab apa. Pudin pun setali tiga uang. Bibirnya kini malah ternganga lebar saking syoknya mendengar permintaan si Madam Rosa.

(Bersambung)

Ola, everybody! Cerbung ini sudah sampai Bab 218 di aplikasi Fizzo. GRATIS, tanpa koin, ya. Tinggal ketik aja di pencarian aplikasi Fizzo: Gairah Liar Sang Kuli Tampan. Dijamin nggak nyesal baca maraton di sana.

Gairah Liar Sang Kuli TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang