Bagian 3

1.3K 11 1
                                    


Dimas terkagum-kagum tatkala tiba di sebuah rumah lokasi proyek baru mereka. Sebuah bangunan tua satu lantai itu berdiri kokoh di atas tanah luas dengan taman bunga dan kolam ikan koi di depannya. Rumah bergaya kolonial Belanda zaman dahulu kala tersebut terlihat begitu unik sekaligus penuh sejarah. Dia heran, mengapa bangunan sebagus ini mau direnovasi segala? Dengan gaya modern pula. Bukankah rumah tua begini malah lebih bagus dan langka?

"Din, lama sekali? Itu nyonyanya marah-marah nungguin kamu!" Nomo, kepala rombongan tukang sekaligus mandor tiba-tiba menyambut mereka dengan raut kesal. Pria yang mengenakan helm kuning dengan sepatu bot dan sarung tangan kain itu pun menatap Dimas dari atas hingga ke bawah. Tentu saja pemuda tampan itu langsung grogi.

"M-maaf, Bos. Ini nungguin Dimas dulu." Pudin tergagap. Dia sungguh tak enak pada bos dan kawan-kawannya yang lain. Ternyata, banyak pekerjaan yang sudah mereka lakukan ketika dia meninggalkan lokasi. Material pun sudah menumpuk di depan gerbang beton dan belum ditata.

"Cepat! Masuk ke dalam. Anakmu sudah ditunggu sama yang punya rumah!" Nomo bertingkah kasar. Gayanya yang senang memerintah dengan suara lantang itu jelas membuat Dimas sedikit tersinggung. Dia sebenarnya tak terima jika Pudin diperlakukan begitu oleh Nomo. Alasannya karena Nomo jauh lebih muda daripada bapaknya. Bukankah sebagai orang yang lebih muda, Nomo harusnya bersikap lebih santun?

"Siap, Bos!" Pudin yang patuh dan takut kehilangan pekerjaan itu pun langsung menggamit lengan Dimas. Lelaki tua itu setengah berlari menyeret anak tertuanya untuk masuk ke rumah dengan teras yang cukup luas tersebut.

"Gara-gara kamu ini!" keluh Pudin pada Dimas.

"Ah, santai ajalah, Pak! Ngapain Bapak takut sama si Nomo!" jawab Dimas kesal.

"Hush! Mulutmu itu, lho!" Pudin membeliakkan mata. Menegur sang putra dengan suara setengah berbisik sebab takut terdengar kawan-kawannya yang lain.

Dimas hanya mencibir. Masih merasa sebal dengan sikap si mandor. Awas saja, pikir Dimas. Suatu hari nanti, dia akan membalas dendam.

Pudin dan Dimas akhirnya tiba di depan pintu rumah. Pintu itu terbuat dari kayu. Tingginya sekitar tiga meter. Tinggi sekali memang. Daunnya pun ada dua. Cukup lebar dan tinggi untuk ukuran pintu rumah orang Indonesia kebanyakan.

Tangan Pudin agak gemetar saat menekan bel. Dalam hatinya, dia takut sekali akan dimarahi oleh si nyonya. Dia juga bertanya-tanya sebenarnya. Ada apa gerangan dengan anaknya ini? Mengapa dia harus cepat-cepat membawa Dimas ke mari, padahal tenaga kerja yang disediakan oleh Nomo sebenarnya sudah cukup memadai. Satu mandor dan empat tukang senior termasuk dirinya. Tanpa Dimas pun, sebenarnya proyek ini akan tetap berjalan dengan cepat.

Tak seberapa lama, pintu pun dibukakan oleh seseorang dari dalam sana. Mata Dimas langsung tertuju pada seorang gadis muda sederhana dalam balutan daster warna biru laut bermotif ombak lautan. Gadis itu bertubuh mungil. Kulitnya sawo matang, tetapi wajahnya bersih bercahaya sangat terawat.

"Maaf, siapa?" tanyanya halus sambil mengangguk kecil. Perempuan berambut sebahu yang dikuncir ekor kuda itu menatap malu-malu saat tahu bahwa Dimas tengah memperhatikannya.

"Ada nyonya, Mbak?" Pudin bertanya.

"Oh, ada, Pak. Dari siapa?" Gadis bernama Aisyah itu bertanya lagi. Dia ragu untuk membukakan celah pintu lebar-lebar sebab pesan si nyonya, jika ada orang asing tak boleh langsung dibukakan pintu.

"Tukang yang mau mengerjakan rumah ini, Mbak. Saya bawa tenaga tambahan yang katanya sangat dibutuhkan oleh nyonya. Nyonyanya mau ketemu, begitu pesan mandor saya."

Gairah Liar Sang Kuli TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang