Bagian 8

1.6K 16 0
                                    

Gaessss, baca selengkapnya di Fizzo, yuk. Baca gratis sepuasnya tanpa beli koin. Cerita ini sudah tamat di Fizzo. Gas ikutin kisah Dimsay sampai tamat pokoknya.


BAGIAN 8
POV DIMAS

“Pindah rumah besar gimana sih, Mas?” tanya Devi sambil menggaruk kepalanya. Gadis berkaus biru muda itu kelihatannya makin penasaran.

“Mas Dimas bakalan nikah, Dev, Div.”

“Hah?!” Si kembar kompak kaget. Mata mereka melotot besar. Dikiranya aku bercanda.

“Mas, dari tadi ngomongnya aneh! Mas kenapa, sih? Demam, ya?” Devi menaruh telapaknya di keningku. Aku malah nyengir kuda.

“Enak aja! Orang sehat wal afiat.”

“Terus, mau nikah sama siapa? Mau dikasih makan apa anak orang, Mas?” Diva ngomel-ngomel. Gadis yang memiliki tinggi sekitar 156 sentimeter itu mengerucutkan bibir tipisnya.

“Sama oma-oma.” Aku ngakak. Tertawa dalam luka sebenarnya. Bagaimana tidak luka. Wong, aku nyatanya cuma laku di kalangan usia tua.

“Hah?!” Devi dan Diva syok lagi. Muka mereka makin pucat pasi.

“Makin nggak lucu, nih!” kata Devi yang tubuhnya lebih kurus dari Diva.

“Iya. Mas Dimas aneh, ah!”

“Sumpah demi Allah, adik-adik manis! Masmu ini diajak sama oma-oma 40 tahunan buat nikah. Orangnya yang makai jasa Mas Dim sama Bapak buat jadi tukang. Cuma, dia nggak bolehin Mas sama Bapak kerja lagi. Kalian nanti bakal disediakan rumah yang besar dan nyaman. Gimana? Enak, kan?”

Meski sudah panjang lebar bercerita, Devi-Diva malah tertegun. Tatapan mereka nanar. Mukanya penuh dengan bingung.

“Heh, ngelamunin apaan, sih?” tanyaku pada keduanya yang masih berdiri di hadapanku. Kukibaskan telapak tangan di muka keduanya. Devi-Diva terkesiap.

“Mas, ini kaya dongeng! Mas sumpah, deh. Kita belum mudeng.” Devi masih saja geleng-geleng kepala. Dengan langkah lesu, dia kembali duduk ke kursinya yang berada di seberangku. Diva sang adik pun mengikuti langkah kakak kembarnya.

“Lho, anak gadis Bapak udah pada pulang, ya?” Bapak tiba-tiba muncul dari ambang pintu masuk dapur. Mata beliau kelihatan sembab. Khas orang bangun tidur.

“Pak, apa benar, Mas Dim mau nikah sama oma-oma?” Devi tak sabaran. Dia langsung memuntahkan pertanyaan pada Bapak.

Bapak langsung berjalan. Duduk di sebelah kiriku dan membalik piring yang telah kusiapkan untuknya sedari tadi.

“Masak apa, Dim?” Bapak malah celingukan melihat lauk pauk dalam mangkuk yang sudah kututup tadi.

“Buka aja, Pak. Orek tempe pedas-manis sama telur dadar. Khusus buat Bapak, Dimas bikinin dua telur. Nggak usah takut besok nggak makan, Pak. Bentar lagi kita jadi sultan.” Aku makin cengengesan. Muka adikku malah sebaliknya. Bete.

“Pinter kamu,” jawab Bapak senyam-senyum. Dia langsung membuka mangkuk melamin berwarna biru dan merah muda. Menuangkan sisa lauk yang lumayan banyak ke piring makannya. Beliau juga mengaut nasi di atas meja yang mulai dingin. Bapak senang makan nasi dingin sejak kuberi tahu bahwa kadar glukosanya lebih rendah daripada nasi panas.

“Pak, orang ngomong kok, dicuekin sih!” kata Devi tak terima.

“Iya, tuh. Jawab, Pak! Beneran nggak, Mas Dim bakalan nikah?” Diva menimpal dengan muka masam.

“Iya. Besok mau ke KUA ngurus berkasnya.” Bapak menjawab enteng sambil menyuap makanan.

Bukannya senyum, Devi-Diva malah merengut. Mereka memang mulai menyuap nasi dan lauk, tetapi dengan ekspresi sedih.

Gairah Liar Sang Kuli TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang