Bab 8 Terbakar

197 2 1
                                    

Semburat cahaya kemerahan terlihat dari balik jendela bus malam yang melaju sangat cepat di atas jalan tol terakhir yang harus di lalui untuk sampai ke ibukota. Iwan melirik penumpang di sampingnya yang masih terlelap, begitu juga para penumpang lain. Hanya beberapa orang saja yang terdengar bercakap cakap.

Hampir semalaman Iwan sama sekali tak bisa memejamkan matanya. Rasa sesak dalam dadanya benar benar telah memampatkan hampir semua urat nadinya.

Kini ia benar benar merasakan terombang ambing dalam sesuatu yang nisbi, serba tak jelas. Hari depan yang ia dambakan dan sedang ia rintis untuk mencapainya sirna dalam sekejap.

Pikirannya selalu tertuju di kamar hotel terkutuk tempat istri dan sahabatnya melakukan pengkhianatan yang tak termaafkan. Bagaimana Alit anak pertamanya menangis meraung raung sambil merangkul kakinya, saat Ia akan pergi dari rumah orang tua Ambar seusai mengantarkannya untuk bersama mama nya.

"Demi kamu nak bapak terpaksa melakukan ini, kelak bapak akan menjemputmu lagi." Bisik Iwan di telinga anaknya itu, sambil berulangkali memeluk tubuh mungil anaknya yang baru berusia lima tahun itu.

Satu satunya hal positif yang masih membuat Iwan berlapang dada adalah uang tabungannya yang di simpannya tanpa sepengetahuan Ambar yang sudah hampir ratusan juta. Uang yang mulai di simpannya sejak mulai bekerja di sebuah pabrik sepatu nasional sepuluh tahun yang lalu. Meskipun beberapa kali terpaksa berkurang saat Ambar minta di belikan motor dan juga menyokong biaya pengobatan ibunya Ambar.

Air mata Iwan yang sempat mengering kembali meleleh dan terus membanjir bahkan ketika Ia berjejal jejal turun dari bus setelah bus yang di tumpanginya telah sampai di tujuan akhirnya.

Sementara itu Danu yang punya kepentingan lain pagi itu telah berkunjung kembali ke rumah orang tua Jaka yang berada paling ujung kampung berbatasan dengan lahan persawahan.

"Kulo nuwun....Lik...." Ujar Danu dengan suara lunak dan sopan.

"Monggo ...! Eh Dek Danu mari mari silahkan masuk...!" Jawab Darti yang saat itu sedang merias dirinya, karena sebentar lagi akan berangkat kerja.

"Maaf mengganggu Lik...biar saya duduk di luar saja." Ujar Danu sembari menjauhi muka pintu dan duduk di atas sebuah kursi panjang yang tersedia di teras rumah mungil itu.

Sebentar kemudian Darti sudah keluar menemui Danu.

"Kebetulan dek kamu kesini, sebenarnya nanti sore aku akan ke rumahmu." Ujar Darti.

"Nanti sore saya sudah berangkat ke Jakarta lagi Lik.. ini saya kesini memang mau menawarkan barang kali Lik Darti atau Lik Diran ingin pergi bareng saya gitu." Kata Danu.

"Oh gitu ya dek, kalo gitu bulik minta alamat rumah sakit tempat Jaka di rawat saja dek, soalnya bulik belum tau kapan bisa berangkatnya, atau kalo ngga alamat kontrakan Jaka." Kata Darti.

"Wah iya iya...alamat kontrakan Jaka saya kurang tau bulik soalnya sejak Jaka pindah rumah kontrakan saya jarang ketemu, tapi kalo rumah sakit, kemaren Yuyun bilang Jaka di rawat di RSUP." Ujar Danu sedikit menyesal karena kebodohannya yang tak menanyakan alamat kontrakan Jaka pada Ridho.

"Oh RSUP ya dek...klo boleh tau nama ruangannya apa ?" Tanya Darti lagi.

"Eh ehm...ruangannya...kemaren seh masih di ICU bulik...ga tau klo sekarang pindah apa belum. Gini saja bulik supaya enak nanti sampai Jakarta temui saya saja dulu di kontrakan saya, nanti saya bisa anter bulik ke RSUP." Kata Danu yang membuat Darti tertegun.

Semalam ia sudah sepakat sama Ridwan bahwa tak boleh banyak orang yang tau rencana mereka di Jakarta.

"Ini bulik kartu alamat saya di Jakarta." Kata Danu sambil menyodorkan sebuah kartu namanya yang lengkap dengan beberapa petunjuk alamat tempat kerja dan tempat tinggalnya selain nomor hp nya.

GERBANG MASA DEPAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang