3

476 85 3
                                    

DI PONDOK hari ini benar-benar riuh. Para murid antuasias mempelajari tingkah laku hewan ternak. Pak Ridwan membawa sapi dan kambing, serta hewan tunggangan yaitu kuda. Kelas hari ini digabung. Kami mendengarkan penjelasan langsung dari Pak Ridwan yang merupakan peternak hewan, setelah itu baru dilanjutkan dengan pengamatan secara berkelompok. Mempelajari cara perawatan, pangan, serta hal yang perlu diperhatikan ketika hewan menunjukkan gejala suatu penyakit dan cara pengobatannya.

Setiap kelompok membuat catatan berisi penjelasan dan simpulan, kemudian secara bergantian mempresentasikannya di hadapan murid yang lain untuk dijadikan bahan diskusi. Hari ini kami mendapatkan ilmu baru yang tentunya kelak bisa untuk diterapkan.

"Bu El boleh belajar menunggang kuda, nanti." Pak Ridwan berujar sambil mengusap kudanya lembut.

Aku terkejut bercampur senang mendengarnya, "Bener, Pak? Wah, senangnya."

Aku ikut-ikutan mengusap kuda itu. Namanya Zareb, warnanya hitam dengan sedikit corak putih di keempat kakinya. Dari dulu aku bermimpi agar bisa menunggang kuda.

Kelas khusus hari ini berakhir lebih awal karena penduduk kampung serentak akan menanam padi di sawah pada tanggal ini. Dan aku baru tahu akan hal itu disamping tidak ada orang rumah yang memberitahuku sama sekali pagi ini. Karenanya, sekarang aku bingung tidak tahu cara memberitahu orang di rumah agar menjemputku.

Aku mengeluh pelan, ini saat ketika teknologi sangat dibutuhkan. Ponsel pintar aku punya, sayang tidak berguna di tempat yang sama sekali tidak memiliki akses sinyal apalagi internet.

"Bu El bisa ke rumah saya dulu." saran Bu Dewi ketika melihatku gelisah. Pak Ridwan bahkan ingin menemani sampai Oliver datang. Semuanya kutolak karena merasa tidak enak. Aku tahu semua orang menganggap hari menanam bersama itu sangat penting karena hanya bisa dilakukan hari ini saja.

"Bu El."

Seorang muridku, Ayyub, menegur, ia menunjuk-nunjuk ke arah delman yang dikendarai seorang Bapak paruh baya tersenyum ke arahku. Aku pun berjalan menghampirinya ketika ia menjelaskan bahwa kami semua bisa ikut bersamanya untuk pulang.

"Maaf merepotkan, Pak."

Aku melambai ke arah Bu Dewi dan Pak Ridwan yang memperhatikan kepergian kami yang saat ini tengah duduk dengan nyaman di atas delman milik Bapak tua yang memperkenalkan dirinya bernama Pak Soleh.

"Bu El tinggal di rumah Kak Alex, kan?"

Aku menatap Ayyub, jika dia menyebut Alex berarti tujuan delman ini tidak salah. Mereka semua terlihat sangat senang menaiki delman tanpa atap ini. Meski sekarang sudah siang hari, tapi kami tidak merasa panas sebab kampung ini dikelilingi oleh pepohonan rindang sepanjang jalan.

"Kau mengenal Alex?" tanyaku kemudian pada Ayyub yang dibalas anggukan kencang.

"Tentu saja. Dia dikenal di seluruh kampung. Dia pandai mengurus tanaman. Kami juga sering bermain bola bersama anak-anak lainnya." ceritanya antusias.

Ada rasa kagum dalam dadaku pada Alex setelah mendengar itu yang membuatku tanpa sadar tersenyum. Tempat tinggal anak-anak ini tidak begitu jauh dari kediaman Tuan Smith, hanya saja mereka berbelok ke arah yang berbeda. Ada tikungan sebelum mencapai rumah Tuan Smith, yang katanya di sana adalah perkampungan warga. Hanya rumah kami yang terpisah darinya.

ALEX SMITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang