10

158 39 12
                                    

JARI-JEMARIKU menari-nari di atas papan tulis hitam yang terbuat dari lembaran tripleks berukuran dua kali dua meter yang dicat hitam pekat dan menempel kokoh di salah satu dinding ruang kelas. Serbuk-serbuk sisa kapur berjatuhan di setiap goresan angka yang kutulis. Hari ini aku mengajar tentang pengoperasian bilangan pecahan. Sejauh ini, baru dua kali aku mengajarkan bahasa Inggris kepada mereka, meskipun sejatinya itulah jurusanku. Kondisi sekolah tidak mewajibkan mata pelajaran bahasa bahasa Inggris dalam kurikulum. Ditambah sebentar lagi, mereka akan menghadapi ujian akhir semester, dan kurasa aku harus memfokuskan materi pada mata pelajaran yang termuat ke dalam UAS.

Aku sedikit banyak sulit mempercayai bahwa sudah hampir sekitar setengah tahun aku berada di tempat ini. Awalnya aku sempat berpikir—atau sering berpikir, bahwa aku tidak akan mampu bertahan dalam waktu satu bulan saja di kampung ini. Aku yakin sekali akan diserang rasa rindu yang teramat sangat kepada rumah dan merengek untuk dipulangkan segera. Tapi ternyata—dan masih sulit untuk kupercaya, bahwa aku bisa melalui semua ini. Bisa bertahan sampai sejauh ini, mengajar di tempat ini, tinggal bersama keluarga Smith dan bahkan mampu melewati hari-hariku dengan sangat baik, penuh keceriaan, kebahagiaan. Baik itu ketika di Pondok Belajar, di rumah, saat jalan-jalan ke pantai atau ke kebun. Di mana pun itu, aku sangat-sangat bahagia berada di sini. Rasa rindu pada keluargaku tentu saja tetap ada. Itu hal yang pasti, tapi aku rasa setelah genap setahun nanti dan aku harus pergi meninggalkan tempat ini, maka justru sebaliknya aku akan dilanda rasa rindu pada kampung ini, sama seperti yang kurasakan saat aku jauh dari orang tuaku. Aku yakin akan hal itu.

"Pengoperasian bilangan baik penjumlahan atau pengurangan pada pecahan yang memiliki penyebut yang berbeda, maka pertama-tama disamakan dulu penyebutnya."

Jemariku kembali menuliskan sederet angka dan memisahkannya dengan tanda per lalu menuliskan tanda tambah di sampingnya diikuti deretan pecahan yang lain dengan pembilang dan penyebut yang berbeda. "tentukan penyebut yang paling kecil yang bisa dibagi oleh kedua penyebut dari pecahan yang akan dioperasikan." Aku menunjuk bilang tiga dan empat pada masing-masing penyebut pecahan. "Kira-kira angka berapa yang paling sederhana dan bisa dibagi tiga atau empat?"

Aisyah terlihat mengangkat tangan kanannya. "Dua belas, Bu," ujarnya lantang. Yang lainnya ikut menyebutkan meski sudah keduluan oleh Aisyah. Mereka semua sangat semangat belajar.

Aku mengangguk membenarkan jawaban itu, dan menuliskannya di papan tulis. Perlahan mulai menyelesaikan persamaan pecahan hingga diperoleh hasil akhirnya. Aku lalu berbalik dan tersenyum menatap murid-muridku.

"Apa sudah mengerti?"

Semua ikut tersenyum dan mengangguk mantap. "Mengerti, Buu!" seperti biasa, mereka selalu bersemangat.

Setelah akhirnya berada cukup lama di pondok ini, murid-murid mulai menunjukkan rivalitas dan sangat antusias untuk belajar dan berangkat ke sekolah. Ayyub bahkan sudah jarang izin pulang awal, hanya sekitar dua atau tiga kali dalam sepekan. Mereka juga belakangan sibuk mengajak teman-teman mereka yang lainnya untuk ikut bersekolah dan belajar di Pondok. Menyangkut hal itu, mereka yang bercerita langsung pada suatu pagi saat aku melihat beberapa orang murid baru diantar orang tua mereka untuk mendaftar masuk ke sekolah. Karena mereka terhitung murid baru, meski usianya sudah mencapai 9 tahun dibandingkan murid-muridku yang berusia antara 7-10 tahun, para murid baru tersebut tidak boleh diikutkan ke kelas kami karena, dan harus memulai dari kelas paling awal. Ditambah sebentar lagi sekolah sudah akan menghadapi UAS. Oleh karena itu, Bu Dewi membuka kelas khusus untuk para anak baru tersebut. Aku sangat mendukungnya. Semakin banyak anak-anak yang tertarik untuk belajar, maka semakin bagus kualitas sumber daya manusia di kampung ini ke depannya. Itu artinya, perjuangan kami sebagai guru tidak lah sia-sia.

Aku merapihkan kertas-kertas hasil pekerjaan murid-muridku ke dalam file. Menatap laptop di depanku sambil memperbaiki letak kacamata baca. Menginput seluruh data ke dalam deretan tabel dengan rumus Excel. Aku bekerja keras belakangan ini. Setiap malam, entah hingga pukul berapa aku bisa tertidur. Derit-derit bunyi mesin pencetak pasti cukup mengusik tidur penghuni rumah. Tapi kuharap tidak, karena sepertinya kamarku ini cukup kedap suara. Aku pernah bertanya pada Bu Jannah soal apakah dia terganggu karena ulahku, tapi dia hanya menggeleng ringan menyangkal sambil berkata dia tidak mendengar apapun. Entah dia hanya sekedar ingin menenangkanku saja, atau memang kamarku kedap suara.

ALEX SMITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang