5

398 73 0
                                    

AKU kembali menjalankan rutinitas mengajarku. Alasan kenapa aku berada di tempat ini, alasan untuk jauh dari orang tua dan keinginan untuk berbuat sesuatu demi mengejar masa depan. Dan alasan untuk berusaha melakukan apapun yang terbaik demi orang-orang yang ada di pondok belajarku ini.

Hari ini sepulang sekolah, aku, Bu Dewi dan Pak Ridwan asyik mengobrol di ruang guru sambil menikmati kue dan teh hangat. Kue ini buatan bu Dewi, sedangkan teh itu dibawa oleh pak Ridwan. Teh segar dari kebun keluarga miliknya. Saat kuteguk, aromanya benar-benar wangi, menusuk hingga ke rongga hidung dan menenangkan pikiran.

“Kita akan belajar membuat tanaman hidroponik.” ujar Bu Dewi menyemangatiku. Mendengar topik itu, entah kenapa yang ada dipikiranku hanya Alex saja. Tentu, sosok itu sangat ahli dalam hal-hal seperti ini.

“Bu Eliza, aku benar-benar berharap kau bisa mengajaknya.”

Aku mengerutkan alis. Siapa? Ya ampun, aku sedikit sadar bahwa sejak tadi aku tidak begitu memperhatikan penjelasaan dari bu Dewi. Aku malah sibuk dengan pikiranku sendiri tentang Alex.

“Yang aku tahu, dia sangat ahli mengenai tanaman.” Bu Dewi kembali melanjutkan. Aku hanya tersenyum menanggapinya, masih belum menemukan petunjuk tentang arah pembicaraan ini.

“Kalau kau mengajaknya, Eliza, anak-anak akan mendapatkan ilmu dari seseorang yang ahli.”

Wajah Bu Dewi berbinar sempurna, matanya terlihat cerah membayangkan hal-hal yang hanya dia sendiri yang tahu apa itu. 

Pak Ridwan bergerak meneguk tehnya. “Ibu tahu kan, meminta orang seperti ini pasti cukup sulit, apalagi seseorang seperti Alex. Semua orang di desa ini benar-benar sibuk.”

Alex? Otakku bekerja keras. Jadi yang sejak tadi dibicarakan oleh bu Dewi adalah Alex?

“Eliza, katakan padanya, dia boleh meminta apapun untuk bantuannya ini.” Ibu Dewi masih belum menyerah. Sebenarnya saat ini aku sangat ingin mengatakan sesuatu tentang hal ini.

“Dia itu keturunan Eropa, Bu. Kalau dia minta upah kuda bagaimana?”

Kuda? Itu kan sesuatu mengenai Robert, bukan Alex.

Sepertinya pak Ridwan mengerti kerutan di wajahku. “Mmm—maksudku, bagaimana jika Alex meminta bibit pohon langka?”

Itu baru benar, ujarku dalam hati.

Bu Dewi tertawa renyah. “Tenanglah, Pak. Alex itu bukan anak yang suka menyusahkan orang lain—” well, dia memang tidak suka menyusahkan orang lain. Bukan karena peduli, tapi karena dia tidak percaya akan hasil kerja orang lain selain dirinya sendiri. “lagipula, Eliza akan mengurusnya. Mereka kan tinggal serumah.”

Oh tidak! Apa yang harus aku lakukan.

Bu Dewi dan pak Ridwan melempar pandangan kepadaku. Tatapan itu penuh dengan harapan dan—paksaan.

Aku menyerah. “Baiklah, akan kucoba.”

“Hahaha! Begitu dong.” Kalau boleh jujur, aku sangat terkejut dengan tawa antusias dan mendadak itu. 

Pak Ridwan juga terlihat bahagia. Aku sadar, mereka sangat berharap Alex bisa benar-benar hadir dalam kegiatan belajar mengenai tanaman hidroponik nanti. Ya ampun, aku menyanggupinya dan ini akan jadi pekerjaan yang berat.

Oliver menurunkanku di depan rumah. Sejak tadi aku masih terus memikirkan cara untuk mengajak Alex agar mau mengajar sehari di pondok. Guyonan Oliver sepanjang perjalanan tadi bahkan tidak kuhiraukan. Pikiranku hanya tentang Alex dan Alex saja—secara harfiah.

Selesai menjemputku, Oliver langsung pamit, ingin kembali lagi ke kebun karena Alex sudah menunggunya di sana. Aku menatap Oliver sedih. Terkadang aku merasa bersalah sudah menjadi beban bagi orang-orang di rumah ini. Mereka sudah berbuat banyak hal untukku, dan aku hanya bisa terus menerima, dan tidak pernah memberikan apa-apa kepada mereka.

ALEX SMITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang