11

174 40 4
                                    

AKU melirik ponselku yang bergetar heboh di meja samping tempat tidur. Kulirik Anti di sebelahku sudah tertidur pulas, padahal ini masih sore. Dia hanya menyempatkan diri salat Ashar lalu merebahkan dirinya di tempat tidur. Kurasa kami semua merasakan lelah yang sama rata.

Mataku berbinar melihat siapa yang meneleponku. Betul, Alex. Beberapa hari yang lalu dia mengirimiku surel berisi nomor ponselnya. Dia menyuruhku menyimpannya, dan hanya perlu semenit setelah nomor itu tersimpan, dia malah sudah meneleponku, bukankah dia itu lucu?

Kemarin Alex bercerita bahwa kiriman paketnya sudah tiba setelah menyeberangi lautan dalam dan luas. Dia akhirnya bisa memasang pemancar sinyal di rumahnya dan bebas menelepon kapan saja. Aku tahu selama ini Alex memiliki ponsel, aku juga pernah tidak sengaja melihat laptop di kamar Oliver saat memanggilnya untuk makan malam. Oliver bilang, dia harus belajar setiap hari karena sudah tertinggal jauh pelajaran sekolah. Mereka menggunakannya hanya jika benar-benar membutuhkannya.

Oh ayolah, semua orang tahu bagaimana kecanduannya anak-anak zaman sekarang pada gawai. Sejak usia masih kanak-kanak hingga dewasa bahkan lanjut usia sekalipun, sudah kesulitan berpisah dari perangkat teknologi tersebut. Bahkan saat sedang berkumpul bersama keluarga, bukannya mengobrol hangat dengan sanak famili, mereka semua malah asyik dengan beragam konten di layar masing-masing.

Adapun Alex dan keluarganya berbeda. Memang sih, Tuan Smith dan Bu Jannah tidak punya siapa-siapa lagi untuk dihubungi. Mereka juga khawatir keberadaan mereka dapat terlacak jika masih berkabar bersama keluarga mereka, karena itu semenjak tinggal di kampung, mereka sudah tidak pernah lagi berhadapan dengan ponsel. Kecuali Alex yang masih terkadang menggunakannya untuk kepentingan penelitian, Oliver yang menggunakannya untuk belajar, sedangkan Robert juga sama, sudah meninggalkan benda itu sejak lama.

"Halo," aku tidak bisa menyembunyikan senyumku. Perasaan aneh itu muncul lagi. Kudengar dia mengucapkan salam dan aku membalasnya. Sebenarnya kemarin dan dua hari lalu, aku tidak pernah benar-benar berbicara dengan Alex. Saat pertama menelepon, yang berbicara di seberang adalah Bu Jannah, dan selanjutnya Tuan Smith, meski dia akhirnya bicara tapi itu hanya sekedar basa-basi menanyakan kabarku sekaligus memberitahu bahwa dia berhasil dengan janji waktu itu untuk membuat pemancar. Baru hari ini aku benar-benar bisa mendengar suaranya sebagai pembicara pertama, bukan sebagai penutup.

"Aku sehat,"

Alisku berkerut singkat lalu aku tertawa mendengar kata itu. Dia mengatakan 'aku sehat' padahal aku belum bertanya apapun.

"Alhamdulillah. Aku juga," aku meladeni guyonannya.

"Kau ingat janjimu waktu itu, kan?"

Hah? Janji? Sudah kubilang kan, Alex suka sekali meracau dan membuatku bingung harus terus bertanya sampai dia menjelaskan.

"Yang mana?"

"Saat kubilang aku akan membuatmu bisa menelepon orang tuamu dengan gampang, sehingga kau harus memberiku hadiah."

Huh! Dasar! Kata-kata itu kan keluar dari mulutnya sendiri. Itu adalah keputusan sepihak. Tapi aku tidak mempermasalahkan sikapnya lagi.

"Aku sudah punya hadiah untukmu." Dipikiranku berkelebat sederet barang-barang yang akan kuberikan padanya.

"Bagus," hanya itu yang diucapkannya. Dasar manusia irit bicara.

"Aku juga punya hadiah untuk Ayah dan Bundamu, Robert, Oliver dan adik Aliyah."

Lama tidak terdengar suara. "Kapan kau pulang?"

Aku sejenak memikirkan hal itu. Sudah seminggu aku meninggalkan rumah keluarga Smith. "Minggu depan. Aku akan meneleponmu nanti."

ALEX SMITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang