9

181 41 10
                                    

KITA BUKAN manusia yang akan senang lari dari masalah. Apa yang dialami oleh keluarga Smith ini, setiap perjalanan pelariannya untuk bersembunyi, mereka bukan lari dari masalah. Justru sebaiknya, apa yang mereka lakukan adalah untuk melindungi orang lain. Mengorbankan kepentingan mereka pribadi demi keselamatan orang lain. Mereka rela tinggal di tempat terpencil dan serba kekuarangan seperti ini, semata-mata demi memastikan agar tidak ada orang lain yang perlu terluka karena mereka. Dan sekarang mereka ada di sini, tanpa pernah mengeluh akan keadaan, tidak mencela takdir dari Tuhan. Mereka menerimanya, mereka bersabar dan tetap menghabiskan waktu mereka dengan berbahagia. Mereka adalah orang-orang luar biasa yang pernah kutemui dalam hidupku. Aku sangat bangga bisa menjadi bagian dari mereka.

"Ketemu dengan kepala suku?"

Aku gelisah mendengar hal itu. Kupikir saat tiba di sini pertama kali, karena sudah mendapat ijin, aku tidak perlu menghadapi keadaan di mana aku harus bertemu dengan kepala suku.

"Hanya melapor saja sebentar." Bu Dewi melanjutkan. Di sampingnya sudah ada bapak Rohmat yang sepertinya menjadi utusan untuk menyampaikan pesan ini kepadaku.

Ya ampun, apa yang harus kulakukan? Apa aku benar-benar harus menghadap kepala suku? Apa yang harus kukatakan? Bagaimana jika dia bertanya macam-macam padaku? Tapi kenapa aku harus takut? Aku di sini untuk tujuan yang baik, bukan untuk merusak orang lain atau menghancurkan desa, jadi kenapa aku harus khawatir. Ah, tapi tetap saja ini menyeramkan. Membayangkan diriku bertemu kepala suku saja sudah membuat sekujur tubuhku gemetaran. Mungkin saja dia tidak suka padaku. Bagaimana jika aku ke sana dan ternyata tidak kembali lagi? Cukup! Berhenti berpikir yang tidak-tidak, Eliza! Berdoalah semoga semuanya akan baik-baik saja.

Setelah menyampaikan pesan, Pak Rahmat kemudian pamit pergi dan menyuruhku datang ke sana setelah waktu Dhuhur. Aku hanya mengangguk pelan dan memberikan senyuman terbaikku.

"Kau sudah cukup lama tinggal di sini, meski hanya setahun lamanya, kau tetap harus melapor ke desa tentang kedatanganmu."

"Tapi kenapa baru sekarang, Bu?" tanyaku heran.

"Kan sudah ibu bilang, kamu sudah cukup lama di sini, jadi warga desa juga harus tahu tentang keberadaan kamu."

"Warga desa harus mengenali wajahmu, setidaknya kepala suku. Supaya jika suatu saat nanti kau butuh bantuan, atau mungkin kau terlibat masalah dan kabur seenaknya, mereka hafal dengan wajahmu."

Buk! Aku memukul punggung Alex keras yang membuatnya harus menegang karena sakit dan kaget dipukuli dari belakang.

"Kau ingin kita jatuh dari sepeda ini dan ditertawai banyak orang?"

Aku tidak menghiraukan guyonannya. Kami memang sedang dalam perjalanan ke perkampungan untuk bertemu kepala suku. Hari ini Alex yang menjemputku karena Oliver harus menemani Robert membantu kelahiran seekor sapi milik salah satu warga kampung. Mungkin kami bisa bertemu mereka nanti.

Kami akhirnya memasuki area perkampungan. Sepertinya Alex sudah hafal betul dengan tempat ini. Bukan hanya tempatnya, tapi masyarakatnya juga. entah sudah berapa banyak orang yang menyapanya memanggil namanya, dan aku bisa lihat dengan jelas wajah Alex yang tersenyum ramah kepada mereka, membuatku mengerut aneh di boncengannya. Dia hampir tidak pernah tersenyum manis seperti itu. Meski memang aku sudah pernah melihatnya, tapi itupun bisa dihitung jari! Adapun laki-laki itu sekarang mengumbar senyumnya dengan mudah sejak pertama kali menjejaki tempat ini sampai saat ini. Padahal selama ini dia susah sekali tersenyum padaku, tapi untuk orang lain dia malah memberikan senyuman terbaiknya. Tentu saja hal itu membuatku kesal.

Dibanding memikirkan kekesalanku padanya, aku memilih mengedarkan pandangan pada sepanjang perkampungan. Harus kuakui, tempat ini sangat indah. Jalannya bersih, perumahannya tertata rapi, ada banyak pepohonan di mana-mana, ditambah taman dan orang-orangnya yang berpakaian sopan—berjilbab untuk perempuan—dan mereka terlihat ramah. Meski tidak mengenaliku, beberapa gadis di desa dan para ibu-ibu turut serta melempar senyum ramah yang membuatku tidak enak hati untuk tidak membalas senyum itu.

ALEX SMITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang