3. Bukan Wanita

247 18 0
                                    

"lhoh?! Re, bukannya kemarin itu, kamu bilang Sabtu ini libur?"

Rea menoleh kearah pintu kamarnya yang terbuka. Gadis itu tersenyum dengan mata sayu ke arah Arfan. Akhir-akhir ini entah kenapa Rea memang susah sekali untuk tidur. Ah! Lebih tepatnya, sejak Rea mengingat kembali kejadian dua tahun lalu.

Arfan melangkah masuk dan menghampiri Rea yang tengah bersiap-siap didepan cermin kamarnya. Gadis itu merapikan rambut pendeknya, yang baru dia potong dua hari yang lalu.

"Ada Casual kak, Dari pada nganggur di rumah."

"Oh ya? Dimana?" Arfan Duduk di kasur lantai milik Rea.

"Brama Corp." Jawab Rea.

"Brama Corp? Bramadi yang terkenal itu?" Tanya Arfan lagi.

Arfan tahu Brama Corp, si Bramadi pengusaha nomor satu di negara ini. Pria itu kerap kali menunjukkan wajahnya dibeberapa televisi dan majalah sebagai pengusaha paling muda yang sukses dan berbakat.

"Iya.."

Arfan tersenyum. "Yaudah, yang penting kamu hati-hati ya kerjanya." Kata Arfan. Pria itu tersenyum melihat pantulan Rea yang mengangguk dan tersenyum di dalam kaca.

Dengan usil pria itu berkata, "Udah kali.. Udah ganteng itu." Kata Pria itu.

Rea yang mendengarnya seketika menghentikan kegiatan menyisirnya. "Abang ih!" Gadis itu mengerucutkan bibirnya lucu.

Arfan tersenyum tipis. Walau Rea bersikeras bersikap seperti lelaki, dia tetaplah seorang adik perempuan yang cantik dan lucu di mata Arfan.

"Kamu nggak diet kan? Kamu kurusan tahu." Arfan melotot kepada Rea. Dia sangat tidak setuju jika adiknya melakukan diet. Karena itu bisa saja menyakiti tubuh adiknya.

Rea hanya diam. Tidak menjawab. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Dia tidak diet. Rea hanya tidak memiliki nafsu makan saja beberapa hari ini.

"Re?" Arfan memegang bahu Rea.

Entah sejak kapan pria itu berdiri dari duduknya. Tapi, kali ini sorotnya begitu tajam menatap Rea. Membuat gadis itu sedikit takut jika abangnya mengetahui apa yang akhir-akhir ini mengganggunya.

Arfan membalikan tubuh Rea. "Abang udah minta sama kamu ya Re. Apapun masalahnya.. kamu harus cerita ke Abang." Arfan mengusap pucuk kepala Rea. Gadis itu tersenyum tipis, mendengar ucapan Arfan yang teramat sering keluar-masuk ditelinganya.

Pria berhidung Bangir itu memejamkan matanya sejenak. Menghirup nafas dalam dan menghembuskannya.  "Abang tahu kamu udah dewasa, tapi.. Abang minta sama kamu. Seberat apapun masalah kamu. Kamu gak boleh pendam itu sendirian. Ok."

Rea mengangguk "Re.. cuma kecapean aja Bang." Senyum manis Rea sedikit menenangkan hati pria itu.

Namun Rea tahu, Arfan tidak akan berhenti bicara dan bertanya pada dirinya. Oleh sebab itu, sebelum Arfan mengatakan Rea tidak boleh bekerja malam ini, dan meminta Rea untuk istirahat saja di rumah. Rea sudah terlebih dahulu menyela dan berkata. "Ya udah, Re berangkat ya bang." Pamit Rea. Dengan mata penuh permohonan.

Terlihat pria itu menggerakkan giginya kuat. Dan dengan terpaksa menjawab, "Iya, hati-hati ya.." Arfan menghela nafas pasrah, menatap Rea dan mengangguk pelan.

Gadis itu meraih, dan mencium punggung tangan Arfan, lalu cepat-cepat berlari keluar rumah.

Di depan rumah, Rea menghembuskan nafas kasar. Rasanya dadanya sesak sekali jika dia harus terus membohongi Arfan. Tapi Rea sendiri juga tidak ingin membuat Arfan lebih menderita dan terbebani oleh dirinya. Akan lebih baik kali ini Rea diam dan memendamnya sendirian. Walau dia terus di hantui oleh rasa bersalah ini.

TUAN NONA (Hug My Heart)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang