Hari ini diawali dengan pagi yang cerah, Jungwon sudah bersiap-siap berangkat sedari tadi tapi Jake terus bersikeras untuk mengantarkan Jungwon. Jungwon tidak mau di antar karna takut ketahuan, apalagi bagaimana nantinya jika seseorang melihatnya disekolah.
"Jungwon, biarkan Hyung yang mengantar mu ya" Jake tak kunjung menyerah.
"Hyung, biarkan aku berangkat sendiri. Jika seperti ini terus Ayah akan bangun nanti"
"Padahal aku sangat ingin mengantarmu" Cemberutnya.
"Tak perlu, Hyung. Aku bisa sendiri, aku pergi ya" Pamitnya dan memakai ransel miliknya.
"Jungwon... " Panggil Jake.
Jake mendekat ke Jungwon lalu mengacak-acak rambutnya kemudian tersenyum.
"Jaga dirimu dengan baik, dan jangan lupa ya... Tiga hari lagi" Ujarnya sambil tersenyum menawan.
Suara langkah kaki terdengar di tangga, siapa lagi kalau bukan Ayah mereka. Jake pun menyuruh Jungwon buru-buru pergi dari sana dengan isyarat tubuh dan melambaikan tangan, dengan begitu Jungwon pun berlari kabur.
"Jake? " Panggil sang Ayah.
"Ayah sudah bangun, ya. "
"Dimana anak itu? "
"Oh, Jungwon sudah berangkat dan mengikuti camp"
"Camp?! "
"Sudahlah Ayah, biarkan dia menghibur diri dulu. Selama ini kan Ayah hanya menekannya dan menuntutnya untuk memberi Ayah nilai sempurna" Ujar Jake.
Sebenarnya Jake tak senang terhadap Ayahnya karna sikapnya pada Jungwon.
"Jangan ikut campur, Jake. Dan berhentilah terus memanjakannya"
"Aku tidak memanjakannya, aku hanya memberinya sedikit kebebasan dari tekanan mu saja"
"Jake, bicara yang sopan" Ia tak terima.
"Tak perlu mengajarkanku sopan santun, Ayah... Aku sudah belajar banyak darimu" Ucapnya dan berlalu dari sana dengan tatapan sedikit marah.
"Anak itu... " Geramnya sendiri.
-
-
-
Jungwon berhasil kabur, ia pun ngos-ngosan berlari saat mengejar bus. Di dalam bus itu ia terlihat sedang mengirim pesan pada seseorang di ponselnya.
Setelah itu, ia menghela napas dan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi.
Hanya butuh beberapa menit saja menaiki bus dan akhirnya ia sampai ke rumah sakit. Dan tak perlu lama, Jungwon langsung menghampiri Dokter Park ke ruangan pribadinya.
"Permisi... " Panggil Jungwon setelah mengetuk pintu Dokter Park.
"Silahkan masuk"
Setelah di ijinkan masuk, Jungwon pun langsung masuk dan duduk di hadapan Dokter itu.
"Bagaimana keadaanmu akhir-akhir ini? " Tanya-nya pada Jungwon.
"Akhir-akhir ini aku sering merasa pusing, Dok. Bahkan penglihatan ku juga terganggu dan kesulitan bernapas, rasanya sangat sesak... Bahkan obat yang Dokter berikan tidak bisa membantuku lagi" Jelasnya.
"Apa kau pernah muntah darah atau mimisan? " Tanya Dokter lagi.
"Hanya beberapa kali, Dok. Apakah itu sudah di tahap serius? " Tanya Jungwon balik dan berharap Dokter menjawab 'tidak'.
"Kau benar, untuk tahap ini kau harus di tangani. Isi data ini, kau harus menginap dan mendapatkan penanganan agar keadaanmu tidak memburuk"
Ucapan sang Dokter membuat Jungwon pasrah, ia memilih untuk mengikuti alurnya saja.
"Dok... " Panggil Jungwon dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Hm...? " Dokter berdehem seolah berkata 'ada apa?' sambil menatap layar komputer.
"Apa aku bisa sembuh? "
"Aku akan berusaha sebaik mungkin, semangatlah... Jungwon"
Jungwon menghela napas berat, ia sudah merasa pusing memikirkan nasibnya dan di tambah lagi tekanan penyakit yang seperti ini.
"Ganti pakaianmu dan ikutlah denganku, kita akan melakukan beberapa terapi" Dokter memberikan sepasang baju polos dan berwarna biru.
Jungwon pun mengikuti apa yang Dokter perintahkan.
***
Jungwon berbaring di ranjang sementara Dokter park sibuk menusuk lengannya dengan jarum infus. Tak hanya itu saja, setelah suntikan infus kini Dokter park menyuntiknya lagi untuk mengambil sample darah.
Jungwon sama sekali tidak keberatan dengan jarum-jarum itu. Hanya saja saat jarum itu menembus kulitnya, ia hanya mengerutkan dahinya saja merasa sedikit sakit.
"Beristirahatlah, aku akan kembali nanti" Ucap Dokter Park dan membiarkan Jungwon beristirahat.
Setelah Dokter Park keluar dari ruangannya, Jungwon pun bangun dan duduk di ranjangnya merasa bosan. Kemudian ia memilih untuk menghirup angin segar di taman rumah sakit disana.
Ia berjalan menyusuri lorong demi lorong di sana, hingga matanya tertuju pada suatu ruangan yang baru saja dimasuki Dokter Park.
Ia merasa sedikit penasaran dengan pasien-pasien lain yang bernasib sama sepertinya, berhubung rumah sakit itu adalah rumah sakit khusus kanker.
Ia pun mengintip ruangan itu, pada awalnya terlihat baik-baik saja karna Dokter park hanya memeriksa pasien seperti biasanya. Namun ia sedikit kaget saat Dokter Park bergeser dan menunjukkan wajah pasien disana.
"Jay... " Gumamnya dan mematung di pintu itu.
Sementara Jay yang berada di dalam ruangan itu asik berbincang dengan Dokter Park. Disela-sela percakapan mereka, Jay sedikit melirik pintu dan melihat seorang pemuda sebayanya tengah berdiri disana, namun Jay tidak tau kalau itu Jungwon karna wajahnya tidak terlihat sebab tertunduk.
Jungwon pun perlahan mundur dan pergi dari sana, dan melanjutkan jalannya menuju taman.
Saat di taman itu Jungwon terus berpikir, kenapa ia tak pernah melihat Jay sakit. Ia hanya mengenal Jay sebagai orang yang ceria dan banyak bicara saja, dan ternyata inilah alasan Jay mengambil cuti sekolah.
Ntah kenapa pikirannya terus tertuju pada Jay terus.-
-
-
Sudah beberapa jam berlalu, Dokter Park yang berada di lantai dua melambai-lambai kepada Jungwon dan menunjuk jam tangannya sebagai isyarat agar Jungwon segera beristirahat. Jungwon yang melihatnya pun langsung mengangguk dan langsung bergegas memasuki ruangannya.
Namun, ia sedikit ragu untuk melewati ruangan Jay. Walaupun begitu, ia harus tetap melewatinya karna itu jalan satu-satunya untuk menuju kamarnya.
Saat melewati kamar Jay, tiba-tiba pintu itu terbuka dan memperlihatkan Jay disana dengan wajah yang sangat pucat dan berkeringat, ia menopang tubuhnya pada penyangga infus itu.
"Jungwon... " Panggilnya Jay.
To Be Continued.
.
.
.
.
.
Jangan lupa follow/vote/komen yaa
Stay tuned buat chapter selanjutnya
TERIMA KASIH~
KAMU SEDANG MEMBACA
PREASSURE/JAYWON -(END)-
Fanfiction"dasar anak bodoh" "tidak berguna" "kau mempermalukanku" begitulah kalimat yang sering ia dengar dari Ayahnya, berbagai ucapan yang membuat hatinya begitu sakit. hidupnya benar-benar dibawah tekanan sang Ayah, hingga akhirnya ia bertemu dengan seora...