Zora ingat kejadian pada hari Sabtu kemarin. Zora menangis sendirian di balkon sekolah. Pulang ke rumah pun masih merasa sedih. Akhirnya Zora memilih untuk tidur.
Sore harinya, ketika Zora terbangun dan membuka mata, matanya sembap karena terlalu banyak menangis. Dengan wajah seperti ini, Zora tidak mau bertemu dengan Nathan. Bagaimana kalau nanti Nathan bertanya kenapa mata Zora sembap? Zora bingung harus menjawab apa. Zora takut, juga malu bertemu kalau wajahnya berantakan seperti itu. Akhirnya Zora menelpon Nathan dan mengatakan bahwa dia sedang tidak enak badan. Jadi, tak bisa berjalan-jalan dengan kura hari ini.
Nathan menjawab "besok hari Minggu gue juga ada perlu, jadi nggak bisa jalan-jalan."
Selama ini Nathan tak pernah absen. Walaupun zora yang lebih dulu bilang berhalangan, tapi ketika mendengar ia juga tidak bisa, Zora jadi menduga yang tidak-tidak.
Hari Minggu ini perasaan Zora semakin tak menentu. Zora benar-benar resah. Makan tak enak, tidurpun tak nyenyak. Tak ada hal lain yang dapat Zora pikirkan kecuali Nathan. Wajah tampan yang innocent, gelak tawanya, senyumannya, Dan ... Ya, tak bisa berkata-kata lagi. Rasanya tak ada yang lebih Zora dambakan saat ini di dunia ketimbang cowok itu.
"Huft, dari pada gue mikir yang bukan-bukan, mending gue jalan-jalan berdua sama kura. Toh hari ini Nathan nggak akan jalan-jalan, seperti yang dia bilang kemarin di telpon." Mereka punya pun berjalan perlahan menyusuri pantai.Sewaktu melihat ke bawah dari jalan berpasir, tampak anak-anak kecil sedang asyik bermain. Orang tua mereka juga ada di sana. Pemandangan yang membuat perasaan menjadi aman dan bahagia. Tapi entah kenapa, hati Zora malah sedih. Ia lalu duduk di atas pagar pembatas, mencoba menenangkan diri, menghilangkan semua kepedihan di hatinya.
"Kok gue sentimen banget? Kenapa hanya gara-gara masalah seperti ini gue jadi cengeng? Argh.. masih banyak hal-hal lain yang lebih penting ketimbang cinta, Zora. Sadar woii.. nggak semestinya Lo nguras air mata hanya karena ini. Ayo, jangan kayak gini. Jalan panjang masih terbentang di depan Lo." Zora memarahinya dirinya sendiri. Memberi semangat kepada dirinya yang sedang rapuh .
Dengan sepenuh hati, Zora mendongakkan kepalanya, dan mengusap air matanya.
Deg!
Tiba-tiba, dari kejauhan nampak seorang gadis sedang berjalan sendirian. Rambutnya panjang terurai. Dia berjalan ke arah zora. "Hmm, kayaknya gue pernah liat nih orang. Tapi, dimana ya?" Zora cepat-cepat menghapus sisa air matanya. Dia tidak mau orang lain melihatnya menangis.
"Loh, itu kan ceweknya Nathan. Iya, bener." Seluruh badan Zora mendadak terasa kaku.
Tidak salah lagi, cewek itu yang bernama Rania. Ternyata Rania jauh lebih cantik dibandingkan fotonya. Pipinya yang putih mulus, matanya yang bulat berbinar-binar di antara bulu matanya yang lentik. "Tapi, kenapa dia ada disini? Oh, apa dia sengaja ke sini? Oke, sekarang gue paham. Nathan nggak pergi jalan-jalan, karena dia mau ketemu sama Rania. Ternyata dia janji buat kencan sama cewek itu disini."
"Raniaaaa!" Saat itu terdengar suara orang memanggil dari arah yang berlawanan. Dialah Nathan , yang datang dengan mengendarai sepeda.
"Eh, ila, " katanya ketika dia melihat Zora. Nathan menghentikan sepedanya di dekat Zora. Dengan ekspresi yang menunjukkan keheranan, Rania berjalan ke arah mereka. Hati Zora serasa terkoyak. Zora berusaha menahan perasaannya. Rania sengaja datang pada hari Minggu untuk menemui Nathan.
"Hai, nath. Apa kabar?" Sapa Rania sambil berjalan mendekati mereka.
"Ran, gue kan udah bilang tunggu aja di stasiun."
"Abisnya gue udah nggak sabar buat nunggu. Lo kan udah ngirim alamatnya jadi, gue coba aja jalan kaki sendiri." Rania menjawabnya dengan nada riang.
Tampaknya mereka berdua sangat akrab. Terlihat dari cara mereka berbicara.
Jantung Zora terasa pedih. Darah serasa merembes dan menyumbat pernapasan. Zora sendiri tidak mengerti apa yang sedang dia rasakan. Zora ingin pergi dari sana sekarang. Zora ingin segera menghilang dari sana."Oh, ya, ila kenalin, ini Rania. Teman sekelas gue dulu, " kata Nathan.
Sepertinya nathan sama sekali tidak tau apa yang sedang Zora rasakan.
"Selamat siang," sapa Rania sambil tersenyum ceria.
"Siang," jawab Zora, berusaha untuk tersenyum.
"Woi, muka Lo kenapa pucat, La?" Tanya Nathan sambil memandang Zora dengan khawatir. "Katanya Lo kemarin nggak enak badan. Beneran Lo nggak apa-apa?" Tanyanya lagi, dengan suara agak bergetar. Wajah Nathan sangat dekat ditelinga Zora. Zora merasa seperti sedang bermimpi bisa berada sedekat itu dengan Nathan. Namun walaupun jarak mereka begitu dekat, Zora tetap merasa jauh sekali. Dan itu membuatnya merasa sedih.
Deg! Deg! Deg! Zora terasa sakit. Tiba-tiba ia bangkit berdiri.
"Ila?"
"Eum, dari kemarin kepala gue pusing. Maaf, gue balik dulu ya," hanya kata-kata itu yang terucap dari mulut Zora.
"Gue antar, ya. Rania, Lo duluan aja ke rumah. Gue cuma sebentar."
"Oke."
"Nih, kuncinya. Kamar paling ujung tingkat kelima."
"Iyaa."
Seketika dikepala Zora terbayang suasana kamar Nathan, bila mereka berduaan nanti. Akan terdengar derai tawa bahagia mereka berdua. "Nggak! Gue nggak boleh mikir macem-macem." Zora menggelengkan kepalanya.
"Nath, gue nggak apa-apa kok. Gue bisa pulang sendiri."
"Tapi, ..."
Zora segera membalikkan badan. Pergi menjauhi Nathan yang sedang kebingungan. Jangan lupakan si kura, dia menyusul dibelakang Zora sambil menggonggong ribut. Anjing itu menemani Zora menyusuri jalan beraspal, kembali ke rumah. Tak memperdulikan lagi Nathan yang berteriak-teriak memanggilnya.
Tiba-tiba di pintu gerbang rumah, Zora tak bisa menahan diri lagi. Dia menangis sejadi-jadinya. "Cewek itu sengaja datang kesini. Dia memang cantik. Siapa pun pasti akan bilang dia cantik. Mana mungkin gue bisa nyaingin cewek secantik itu. Gue hanya teman sekelas Nathan. Sekedar teman biasa. Bego banget, argh.. kenapa gue baru sadar sekarang?" Air mata Zora semakin deras mengalir entah kenapa Zora tidak dapat membendungnya. "nggak! Gue nggak boleh kayak gini. Gue nggak boleh suka sama seseorang yang nggak mungkin bisa gue miliki. Andai aja dulu gue nggak suka sama dia. Kalau aja pagi itu gue nggak ketemu sama dia, mungkin gue nggak bakal suka. Kalau soal pertemuan di kelas seperti teman-teman lainnya, mungkin hubungan kami hanya sebatas teman sekelas. Saat pertama kali bertemu, jantung gue emang berdebar nggak karuan. Gue seneng banget pas dia ngajakin ngobrol. Gue suka liat dia senyum. Gue suka gayanya yang kalem. Pokoknya gue suka semua hal yang ada pada diri Nathan. Tapi, kalau akhirnya begini, dia nggak mungkin jadi milik gue. Kalau sejak semula gue tau akan berakhir pedih kayak gini, mungkin gue nggak akan mikirin dia."
Zora tidak tau harus berbuat apa. Hatinya begitu pedih. Zora sangat kecewa. Dia berjalan sambil menunduk menuju halaman, dan menangis dengan suara keras. Bagaimanapun Zora memikirkannya, bagaimanapun Zora selalu berharap, dia tak mungkin bisa dimiliki. Dia adalah sesuatu yang paling berharga, sesuatu yang paling berkesan dalam hidup Zora, sesuatu yang benar-benar Zora jaga, dan tak akan bisa ditemukan lagi di seluruh dunia.
"Ya, Tuhan. Tolong kembalikan lagi jarum jam ke waktu itu. Ke waktu dimana kami dulu bersama. Dan jadikan aku yang tidak tau apa-apa."
Tapi itu tidak mungkin. Semuanya sudah terjadi. Mau tak mau Zora harus menghadapi kenyataan ini. "Selamat tinggal Nathan."
TBC ✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨
Hai..
Capek ya? Sama aku juga ⊙.☉
KAMU SEDANG MEMBACA
Love at the First Sight (END)
Short StoryKuy, follow for follback ✨✨ follow author dulu sebelum baca .. Jangan pelit buat vote yaa.. ~Zora Sheila Jayanti. berusia tujuh belas tahun. tinggal di kota kecil di pinggir pantai. termasuk perempuan sederhana dan bukan dari keluarga kaya. *** "wo...