XIII. Truth or Dare

20 1 0
                                    

Part 13

Waktu melesat bagaikan anak panah. Satu minggu berlalu dengan begitu cepat. Semenjak kejadian di tangga waktu itu, Jaka sudah tidak pernah terlihat lagi.

Hari-hari berjalan seperti biasa. Tidak ada yang spesial. Tidak ada yang bisa diharapkan. Para remaja itu hanya sedang menunggu keberuntungan yang akan datang. Entah sampai kapan.

Zanna terbangun dari tidurnya yang sama sekali tidak nyenyak. Beranjak dari meja, lalu melangkahkan kaki keluar ruangan. Pandangannya mengedar ke arah sekitar. Sepanjang perjalanan, Zanna memperhatikan satu-persatu anggota yang sedang melakukan kegiatan mereka masing-masing.

Vian, Leon dan Olivia terlihat sedang memperdebatkan sesuatu di samping pintu tangga. Erina memakan snack di ruang kelas sambil menonton idola kesukaannya lewat ponsel. Kevin berlari melewatinya untuk menghampiri Erina, menegurnya karena terlalu berisik. Ardan membantu Aksa berjalan ke arah toilet. Sedangkan Sean terlihat sedang melamun, berdiri sambil melipat kedua tangannya di balkon sekolah.

Zanna terus berjalan hingga langkah kaki membawanya menuju ke rooftop sekolah. Di sana, netranya tidak sengaja menemukan pribadi Luna yang sedang menyendiri di tepian seraya menumpukan kedua tangan di atas pagar pembatas.

"Hai."

Panggilan singkat itu membuat Luna spontan menoleh ke belakang. Mendapati gadis yang sebelumnya tidak pernah ia ajak bicara sedang berjalan ke arahnya.

Berjalan ke samping Luna, Zanna ikut menumpukan kedua tangannya di pagar pembatas.

"Lagi ngapain?" Tanyanya memulai percakapan.

Luna tersenyum lalu mengedarkan pandangannya ke arah lain. "Cuma ngeliatin sekitar."

Mendengar itu, Zanna ikut mengedarkan pandangan. Menatap ke arah bawah, tepatnya lapangan sekolah. Angin sepoi-sepoi yang berhembus siang hari itu menerpa mereka. Membuat beberapa helai rambut menutupi wajah cantik keduanya.

"Lo nggak kangen sama keluarga lo?" Tanya Zanna ditengah-tengah kesunyian itu.

Luna menoleh tanpa menatap gadis di sebelahnya. "Gue... nggak punya siapa-siapa. Satu-satunya keluarga yang masih tersisa cuma nenek. Dan gue tentu kangen sama nenek gue." Jawabnya. "Kalau lo?" Luna balik bertanya.

Zanna menundukkan pandangan. "Gue juga kangen sama keluarga gue. Tapi gue sama mereka nggak tinggal bareng. Gue cuma pendatang baru di kota ini dan tinggal sendirian." Ucapnya.

Luna menganggukkan kepala. "Lo pasti bakalan ketemu lagi sama mereka. Tapi kalau gue... mungkin nggak akan pernah ketemu sama nenek lagi." Gumamnya. Membuat Zanna menolehkan kepala ke arahnya.

"Nenek udah sangat tua dan beliau nggak bisa ngapa-ngapain selain berbaring di atas kasur. Nenek biasanya dijaga sama tetangga sebelah tapi," Luna menjeda kalimatnya dan menghela napas. "Gue nggak yakin mereka bisa bertahan."

"Tapi, gue selalu ingat sama pesan terakhir nenek sebelum berangkat sekolah. Nenek bilang kalau apapun yang terjadi, gue nggak boleh menyerah dan menengok ke belakang. Gue harus terus melangkah maju dan bertahan hidup bagaimanapun caranya. Seberapa sulit apapun itu, gue harus tetap hadapin." Ujarnya. Mengingat bahwa selama ini ia adalah korban perundungan di sekolahnya dan ia harus tetap bertahan disaat kehidupan yang kejam ini semakin menekannya.

Belum lagi, ia memiliki penyakit jantung. Mau tidak mau, ia harus menjalani kehidupan pahit itu dan memendamnya sendirian tanpa ada seorangpun yang tahu.

Zanna kini menatapnya iba. Perkataan Luna tadi sedikit membuat hatinya terenyuh. Yang dikatakan memang benar. Sesulit dan sepahit apapun situasi yang sedang dihadapi, mereka harus tetap bertahan hidup.

After Us [NEW!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang