XIV. Pertentangan

16 1 0
                                    

Part 14

"Darimana lo dapetin alat ini?"

Zanna meneguk saliva dengan susah payah, "Di ruang CCTV. Gue mau ngobrolin tentang hal ini tadi. Makanya gue kesini."

"Ruang CCTV? Waktu kita ngambil kunci pintu ruangan OSIS? Itukan udah beberapa hari yang lalu. Kenapa lo baru bilang sekarang?!" Bentak Vian tersulut emosi.

Entah mengapa melihat Vian yang membentak dirinya membuat Zanna juga ikut terpancing emosi. "Kan yang penting lo udah tau sekarang!" Pekiknya.

"Lo denger sendiri kan tadi ada informasi tentang tempat pengungsian yang ada di pinggir kota? Sebaiknya kita semua ke sana, karena gue yakin tempat itu bakal jauh lebih aman daripada di sini. Lagian kita nggak mungkin berada di sini terus." Sambungnya meyakinkan Vian.

"Iya. Gue denger dengan jelas. Tapi lo mikir juga, emang kita ke sana naik apa? Tempat itu jauh dan lokasinya ada di dekat bukit X. Nggak mungkin kan kita jalan kaki? Kalau mau pakai kendaraan pun, emang mau pakai punya siapa?"

"Kita bisa curi kendaraan orang lain. Emang lo pikir hukum masih berlaku di situasi kaya gini?"

"Bukan gitu maksud gue. Banyak resiko yang harus kita ambil kalau kita nekat pergi kesana. Nemuin kendaraan yang bisa muat banyak orang ga segampang yang lo kira. Apalagi diantara kita mungkin masih banyak yang belum bisa ngendarain mobil. Belum lagi kalau jalanan yang kita lewati buntu."

"Terus gimana caranya kita bisa ke sana? Lo nggak berniat buat tinggal di sekolah ini selamanya kan?"

"Ya enggak lah. Lo gila apa. Gue juga mau keluar dari sekolah ini. Tapi kalau kita gegabah dan mau pergi ke tempat pengungsian itu tanpa ada persiapan, yang ada kita semua nggak bakalan selamat. Makanya gue bikin pesan SOS di atas sini."

"Tunggu, jangan bilang lo mau nungguin helikopter atau bantuan lainnya dateng?" Terka Zanna.

"Iya. Emang kenapa? Dari pada kita harus jalan kaki atau naik kendaraan yang belum tentu aman, mending kita nungguin tim penyelamat buat dateng ke sekolah."

Zanna melangkah maju. Menatap Vian dengan intens. "Helikopter belum tentu dateng. Emang mau sampai kapan lo nungguinnya? Kevin sama Aksa udah sakit-sakitan, apalagi Luna. Sewaktu-waktu, mereka bisa—"

"Karena itu juga gue nggak mau kita semua berangkat sendirian ke sana. Kevin akhir-akhir ini nggak bisa ngelihat dengan jelas, Aksa kakinya masih sakit, dan Luna punya penyakit jantung. Coba bayangin, gimana nanti kalau misalnya kita semua dikejar monster di tengah jalan pas lagi turun hujan dan gak ada sinar matahari sama sekali? Kita mungkin nggak bakal kenapa-napa, tapi nasib mereka bertiga gimana?" Vian menaikkan satu alisnya.

Zanna menghela napas berat. "Gini deh. Gimana kalau gue yang pergi ke tempat pengungsian itu sendirian? Jadi, lo sama yang lain sementara nungguin di sekolah dan gue bakal panggilin tim penyelamat dari tempat itu buat jemput kalian semua." Usul Zanna memberikan solusi. Namun tampaknya, ide yang diberikan Zanna tak disetujui oleh Vian.

Pemuda itu menyunggingkan senyuman miring, membuat Zanna seketika menyatukan alis heran. "Iya gue tau, lo ngomong kayak gini karena lo satu-satunya orang yang imun di sini. Iya kan? Enak juga ya jadi orang yang kebal sama gigitan monster, ngomong pun juga enteng." Sambung Vian sarkas, berhasil membuat gadis di depannya menatapnya dengan pandangan tidak percaya. Pemuda itu seakan-akan sengaja memancing emosinya dan benar-benar menguji kesabarannya hingga ke ubun-ubun.

"Brengsek." Umpat Zanna pelan sembari memundurkan langkah, menjauhi Vian dengan tatapan sinis yang masih tertuju ke arahnya.

"Lo egois. Lo nggak mikir? Nanti kalau mereka kenapa-napa di jalan gimana? Emang lo mau tanggung jawab karena maksa mereka buat ikut?! Dan juga, jangan nekat pergi sendirian ke tempat itu karena gue yakin kalo lo nggak bakalan bisa. Intinya, jangan jadi sok pahlawan dan diem aja disini. Kita nungguin tim penyelamat bareng-bareng. Ngerti nggak sih?! Kenapa sih lo keras kepala banget?!" Vian kembali menaikkan volume suara.

After Us [NEW!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang