IX. Tentang Luna

10 1 0
                                    

Part 9

Malam hari telah tiba. Seperti biasa, Sean, Zanna dan juga Leon sedang melakukan patroli di lantai tiga.

Sekarang, mereka harus ekstra berhati-hati karena suara para monster yang berada di lantai dua masih terdengar cukup ramai di bawah sana.

Hujan masih belum reda dan suara petir yang menyambar terdengar sangat keras hingga menyebabkan monster-monster itu berkerumun di tangga penghubung antara lantai dua dan tiga.

"Lo gapapa kan? Gimana kondisi luka di kaki lo?" Tanya Sean kepada Zanna yang sedang duduk bersandar pada lemari yang digunakan untuk menutupi pintu tangga.

Bukannya mendapat jawaban, Sean malah mendapat tatapan kebingungan dari Zanna dengan satu tangan yang digunakan untuk menunjuk dirinya sendiri.

Sean mendengus. "Iya, elo."

"Yah, seperti yang lo lihat. Fisik gue sakit, psikis juga." Jawabnya sedikit mengecilkan suara di akhir kalimat.

Sean ikut duduk di sampingnya seraya melihat ke arah luka di kaki Zanna yang sudah dibalut perban. "Luka fisik emang sakit. Tapi, luka psikis lebih menyakitkan." Celetuknya.

Kemudian, punggungnya bersandar pada lemari di belakangnya. "Saat sebelum kemunculan monster-monster itu, gue sempat berharap kalau gue mau dunia ini berakhir. Gue udah muak sama semuanya. Gue mau semuanya sirna. Nggak ada lagi yang namanya kebahagiaan dan kesedihan. Nggak akan ada lagi yang namanya tuntutan dari orang yang berlagak hebat dan selalu berkata seenaknya sendiri. Terutama—"

"Tunggu." Zanna menghentikan ucapan Sean. Menolehkan kepala ke arahnya dengan kerutan di dahi.

"Kenapa lo ngomongin hal ini seakan-akan kita akrab? Gue masih nganggep lo sebagai orang asing. Lebih baik, simpen dulu cerita lo itu." Potong Zanna, membuat Sean menyatukan alis tebalnya. Menatapnya tak habis pikir.

Selanjutnya, Zanna bangkit dari posisi duduk dan melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Sean yang masih terdiam di tempat, memandangi kepergiannya dengan wajah heran.

•••

Zanna berjalan menyusuri lorong. Ketika sedang berjalan, ia tidak sengaja melihat Erina dan Ardan yang sedang mengobrol singkat di depan ruang UKS.

"Lo istirahat aja, biar gue yang jagain Luna."

"Beneran nih? Makasih ya Ar. Kalau lo ngantuk bilang aja, nanti gantian jagainnya."

Ardan mengangguk. "Iya."

Kemudian Erina berjalan menjauh dan Ardan masuk ke dalam ruang UKS, tak lupa untuk menutup pintu.

Zanna yang dari tadi menguping, tanpa sadar berjalan mendekat ke depan ruang UKS. Mengintip Ardan yang sedang duduk membelakanginya lewat jendela kecil di pintu.

Ardan mengamati Luna. Kemudian mengulurkan tangannya untuk menyentuh kening gadis itu.

"Nggak panas kok. Dia sakit apa ya?" Gumamnya bermonolog lalu menarik kembali tangannya dan menghela napas berat.

Ia benci saat melihat satu-persatu anggota mulai terluka dan sakit. Ardan merasa gagal untuk melindungi mereka. Bahkan rencana untuk membuat markas menjadi tempat yang lebih aman pun gagal.

Seharusnya, ia segera bertindak untuk mewujudkan idenya. Ya, Ardan tidak boleh menyerah, ia akan terus berusaha semampunya.

Sementara itu, Zanna yang masih menatap Ardan dari balik jendela kecil berjalan dan menyandarkan tubuhnya di samping pintu. Zanna menutup mata sejenak sembari menghembuskan napas beratnya.

After Us [NEW!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang