The Truth Untold

89 14 0
                                    

Tubuh Gemma terhempas ke trotoar secara tiba-tiba dengan sangat kencang. Bagian pelipisnya terbentur sebuah batu di sana, sehingga pening luar biasa Gemma rasakan sebelum akhirnya kesadaran gadis itu menghilang.

Tubuhnya dipeluk erat oleh Eros di belakangnya. Laki-laki itu yang menarik Gemma, menyelamatkan gadis itu dari sebuah mobil yang melaju kencang ke arah Gemma. Kedua matanya memicing ketika menyadari seseorang di balik kemudi itu adalah Metta.

"Gemma!"

Antonio keluar dari kemudi, berlari menuju Gemma yang sudah tidak sadarkan diri. Namun, saat melihat Eros menyelamatkan gadis itu, langkahnya terhenti, atensinya teralih pada sebuah mobil tidak asing yang melesat cepat. Matanya memicing, pria itu memutuskan untuk kembali memasuki kemudinya lalu menyusul mobil itu.

Eros memilih untuk mengabaikan Antonio dan segera membawa Gemma ke dalam mobilnya, membawa gadis itu ke rumah sakit terdekat. Dalam perjalanan, Eros tidak henti-hentinya menggumamkan nama Gemma, berharap gadis itu akan tetap baik-baik saja.

"Luka di pelipis pasien tidak parah, hanya syok dan benturan di kepalanya yang cukup keras, membuat pasien pingsan. Setelah sadar, pasien bisa pulang," ujar seorang Dokter yang menangani Gemma.

Eros menatap sendu Gemma yang masih setia memejamkan matanya. Laki-laki itu berjalan mendekati brankar Gemma, mengelus lembut perban di pelipisnya sebelum beralih mengelus pipi gadis itu.

"Maaf, gue terlambat," gumam Eros. Laki-laki itu menundukan kepalanya, kedua tangannya menggenggam satu tangan Gemma yang terbebas dari selang infus, terus menerus menggumamkan kata maaf.

"Lo, harus tahu, meskipun lo sekarang benci gue, gue selalu berjalan di belakang lo. Sayangnya, setiap kali lo berhenti, gue juga harus berhenti. Setiap kali lo menengok ke belakang, gue harus bersembunyi. Meskipun akhirnya gue cuma bisa jadi bayangan, gue seneng, kok. Karena gue bisa jagain lo."

Setelah beberapa lama dalam penjagaannya, gerakan kecil tangan Gemma menyadarkan Eros. Laki-laki itu menegakkan tubuhnya, menunggu Gemma yang sedang mengerjap menyesuaikan diri. Nafas laki-laki itu tercekat ketika kedua obsidian Gemma menusuk tajam matanya. Aliran darahnya berdesir namun, tubuhnya membeku.

"Gemma, lo sadar?" tanya Eros berhati-hati.

Gadis itu memilih diam namun, tak lama ia mengaduh ketika menggerakan kepalanya. "Kepala gue."

"Lo hampir aja kecelakaan. Maaf, gue narik lo terlalu kenceng. Jadi, kepala lo kebentur cukup keras," ujar Eros dengan air muka sendunya yang setia menatap lekat Gemma.

Gadis itu bangkit kemudian melepas paksa infus di lengan tangannya. Saat gadis itu hendak turun dari brankar, Eros menahannya. "Gemma, jangan kayak gini. Lo mau kemana?"

"Pulang."

"Sama gue—"

"Nggak! Cukup, Eros! Lo nggak perlu peduliin gue lagi." Eros menggeram tidak suka. Tangannya yang masih menahan lengan Gemma tidak ia biarkan terlepas.

"Apa udah bener-bener nggak bisa?" tanya laki-laki itu. Cahaya obsidiannya masih memancarkan harapan meskipun, kekecewaan mendominasi di sana.

Gemma menggeleng. "Apa gue nggak layak untuk bahagia?"

"Lo layak. Lo lebih dari layak untuk bahagia."

Mata gadis itu memanas, tetapi enggan menangis. Ia sudah lelah untuk menjadi lemah. Genggaman Eros semakin kuat. Perlahan, laki-laki itu menuntun Gemma agar kembali ke brankar karena gadis itu masih perlu istirahat lebih banyak.

"Gue capek! Di saat gue harus lari ngejar kebahagiaan gue, semakin gue berusaha ngejar, kebahagiaan itu semakin menjauh. Di saat kebahagiaan itu datang sendiri, gue berusaha meraih. Tapi, kebahagiaan itu ada di tepi jurang. Dan uluran tangan yang gue harapkan ternyata dorong gue jatuh ke jurang itu. Kebahagiaan yang bagi orang lain kayak minum air di tepi danau, bagi gue kayak fatamorgana di gurun pasir. Genangan air itu fana," ucap Gemma terisak.

21+ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang