"Selamat pagi, Mama Metta Sayang," teriak kembar yang berlarian berdesakan dari anak tangga menuju meja makan, sebab sedang bertaruh, siapa yang sampai terlebih dahulu di meja makan untuk memberi ciuman selamat pagi pada sang Mama.
"Emma, Jenna, Papa selalu bilang apa ke kalian, hm?" Keduanya hanya tersenyum menunjukkan deretan gigi sebelum mencuri sebuah ciuman di pipi Antonio.
"Selamat pagi, Papa," salam Jenna yang mendudukan dirinya di samping Antonio.
"Selamat pagi juga, Jenna," sapa kembali Antonio membalas ciuman sang Anak.
"Emma, sarapan itu, nggak cuma minum susu kotak, Nak," tegur Antonio kembali saat mendapati Emma membuka lemari es dan mengambil dua kotak susu dari sana.
"Eh, kok, susu kotak Emma hilang satu. Jenna, kamu habis ambil, ya? Ayo, ngaku!"
"Sembarangan! Jenna nggak suka susu kotaknya Kak Emma."
"Pa, Ma, Jenna nakal, tuh. Ambil susu kotaknya Emma!" dalih Emma pada kedua orangtua tirinya, berharap mereka mau membelanya.
"Bohong! Jenna cuma minum susu yang di bikinin Mama. Iya, kan, Ma?"
"Kakak yang ambil. Udah, diem lo, curut! Pagi-pagi udah berisik," potong Gemma yang sedang berjalan menuruni anak tangga.
Emma cemberut, namun tetap mengikuti dimana sang Kakak mendudukan diri. "Kata Papa, hari ini Kakak mau kerja, ya?"
Gemma menjawab pertanyaan Emma dengan anggukan mantapnya. "Gimana penampilan Kakak?"
Emma mengangkat kedua ibu jarinya tepat di depan wajah gadis itu. "Keren!"
"Ayo, kita lanjutin sarapannya. Emma, Jenna, kalau sedang makan, jangan banyak bicara dulu, Sayang," ucap Metta mendamaikan suasana meja makan.
Setelah Metta membuka suara, suasana menjadi hening. Mereka tertunduk menikmati sarapan milik masing-masing tak terkecuali Gemma. Gadis itu tidak menyadari jika atensi Antonio selalu tertuju padanya sejak ia berjalan menuruni anak tangga.
Leher. Atensi Antonio menelisik dengan gusar setiap inchi leher Gemma yang tertutup kerah kemeja gadis itu. Ia mencari sebuah benda yang melingkari leher gadis itu. Namun, nihil. Tidak terdapat apa pun di sana. Kesal dan kecewa terpatri pada air muka pria itu. Apakah benda yang ia berikan pada Gemma kembali berakhir di tempat sampah untuk yang kedua kalinya?
Tanpa disadari, Metta yang duduk di seberang Antonio memerhatikan kegiatan sang Suami pada anak tirinya. Keningnya berkerut kesal, lalu berdehem keras. Antonio tidak bodoh untuk memahami itu, lantas pria itu berdiri, membawa dirinya meninggalkan area meja makan.
"Papa ke ruang kerja dulu, ya."
"Mama bantuin Papa nyiapin keperluannya dulu, ya. Kalian, selesaikan sarapannya," ucap Metta pada ketiga anak tirinya, lalu meninggalkan area meja makan, mengikuti arah Antonio pergi.
Setelah menutup pintu dan menguncinya, wanita itu menyandarkan dirinya pada punggung pintu, melipat kedua tangannya di depan dada lalu sebuah senyum miring tersungging di sana. "Jadi, lo berencana nusuk gue diam-diam?"
Antonio tak merespon. Pria itu masih diam di tempat ia duduk. Kaki jenjangnya tersilang, kedua tangannya dilipat di depan dada. Pria itu mendecih, lantas membuat emosi Metta semakin meluap.
"Memangnya, apa yang gue lakuin?" tanya Antonio santai.
"ANTONIO!"
Pria itu masih bungkam, tubuhnya masih tenang saat Metta mulai berjalan mendekat padanya. Wanita itu menyejajarkan kedua kaki Antonio yang tersilang, lalu mendudukan dirinya di atasnya. Kedua tangannya ia gunakan untuk membelai lembut pipi Antonio. "Gue pikir, Lo terlalu terburu-buru untuk jadi pahlawan kesiangannya, Sayang. Bukannya kita udah sepakat? Lo lupa, ya? Mau gue ingetin lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
21+ [TERBIT]
Novela Juvenil[RE-PUBLISH] ‼️REVISI‼️ *** Gemma, gadis yang usianya akan menginjak dua puluh satu tahun. Gadis yang selalu menyembunyikan semua lukanya sendiri. Kegagalannya dalam keluarga, cinta, dan karir membuat Gemma merencanakan pembalasan dendam pada sang...