🦇4. Namanya Gean

44 17 27
                                    

🦇🦇🦇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🦇🦇🦇

"Kita pulang duluan, ya, Re. Kan, lo katanya mau bereng Gean," pamit Ivy padaku. Mereka memang sudah biasa dijemput supir mereka masing-masing. Sedangkan aku yang arahnya berbeda, akan naik angkot. Sering salah satu dari sahabatku menawariku tumpangan, tetapi karena jarak rumah yang tak searah, membuatku menolah karena takut merepotkan mereka. Namun, saat tak ada kegiatan, aku tak jarang menerima ajakan mereka yang tak keberatan.

"Bye, Re!" Vinca dan Ala segera menyusul Ivy yang sudah lebih dulu keluar kelas, sedangkan Hazel, ia sudah pulang dari tadi karena harus bekerja. Maklumlah, ia sebatang kara, jadi harus bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Aku menoleh ke belakang, tepatnya ke bangku Gean. Anak itu masih mengemasi buku-bukunya. Aku kemudian berjalan menghampirinya. "Lama. Gue jalan duluan ke parkiran," ucapku lalu meninggalkannya. Lebih baik aku duluan, daripada nanti anak-anak lain mengira aku ada apa-apa dengan Gean jika berjalan berdampingan dengannya. Tahu, kan, sebabnya? Ya, karena Gean adalah anak donatur sekolah, otomatis banyak siswi yang menggilainya. Kuakui ia memang tampan, tetapi manusia menyebalkan seperti Gean sama sekali bukan tipeku.

Aku menunggu di pos satpam depan sekolah yang sepi. Untung saja semua siswa sudah pulang, yang tersisa hanyalah motor milik Gean. "Yuk." Gean tiba-tiba muncul dari belakangku, membuatku terkejut. Ia lalu mengambil motornya yang terparkir di sana, tak jauh dari pos satpam. "Naik," titahnya. Aku segera naik ke motor Gean tanpa banyak bicara. "Kita cari bahan ke mana, Re?"

"Ke satu tempat, gue tau satu tempat biar kita bisa dapet barang bekas," jawabku.

"Oke, gas!" Gean kemudian melajukan motornya. Ia melajukan sangat kencang sampai jantungku hampir saja bergeser dari tempatnya. Aku juga hampir menjambak rambutnya kalau-kalau ia melajukan secepat kilat.

Aku menunjukkan belokan-belokan menuju tempat yang kumaksud tadi. Anak orang kaya seperti Gean pasti tidak pernah ke gang sempit seperti ini. Tugas seni budaya kali ini adalah membuat kerajinan dari bahan bekas, maka dari itu aku langsung terpikir ke satu tempat. Tempat bagi sebagian orang tak layak dikunjungi, tetapi bagiku tempat itu menyimpan kehangatan tersendiri.

Begitu sampai di tempatnya, aku turun terlebih dulu. Bau khas tempat ini menyambutku yang masih memandangi gerbangnya. Gean yang baru saja membuka helmnya langsung berdiri di sampingku. "Lo yang bener aja, Re?! Masa kita ke tempat pembuangan sampah, sih? Jadi ini tempat yang lo maksud? Duh, nanti gue jadi bau, dong?" Ia mengomel panjang lebar seakan tak terima. Baru juga sampai sudah menggerutu!

"Berisik!" Aku lalu pergi ke dalam dan meninggalkan Gean yang sedari tadi mengomel itu. Aku tidak mau gendang telingaku rusak karenanya.

"Re, tungguin!" teriak Gean yang berlari mengejarku. Terdengar dengan jelas suara langkahnya.

Sampai di dalam, aku disambut oleh para anak-anak yang sudah biasa memulung barang bekas di sini. Mereka rutin ke sini di jam-jam sore setelah pulang sekolah. "Kak Tore!" Lima bocah itu berteriak lalu berlari ke arahku. Mereka memelukku bersama-sama. "Kak Re, ke mana aja, sih? Kenapa nggak pernah main ke sini lagi?" tanya salah satu anak perempuan berusia delapan tahun bernama Anjani itu.

TORENIA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang