🦇6. Jangan Ganggu Gue!

25 7 8
                                    

Sebelumnya mau minta maaf jika feel horor cerita ini kurang ngena di kalian sebagai pembaca 🙏
Happy reading! 🦇

Sebelumnya mau minta maaf jika feel horor cerita ini kurang ngena di kalian sebagai pembaca 🙏Happy reading! 🦇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🦇🦇🦇

Aku berjalan pulang dengan keadaan tubuh lemas. Bukan habis melihat darah kecelakaan barusan, tetapi masih shock karena menyadari gadis yang kutanyai tadi hanyalah arwahnya. Aku diantar oleh tetanggaku karena lemas ketika berjalan. Sedangkan Gean pulang duluan tadi setelah melihat kecelakaan itu. "Lama banget nganterin Gean doang, Re?" Ibu tiba-tiba keluar dari kamar dan membawa baju yang sudah rapi di dalam keranjang. Sepertinya ia telah selesai menyetrika baju-baju itu.

"Ng ... i-iya, Bu. T-tadi liat kecelakaan dulu di depan." Aku sampai gugup saat menceritakannya pada Ibu. Badanku saja masih terasa gemetar.

"Ibu nganterin baju-baju ini dulu, ya. Tore jaga rumah," kata Ibu. Ia lalu keluar rumah dan sekarang hanya ada aku sendiri. Entah kenapa aku jauh lebih cemas dari kemarin-kemarin. Mungkin karena kejadian yang barusan terjadi.

Aku segera masuk ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Membuka buku untuk mengalihkan pikiran. Siapa tahu aku akan melupakan sejenak kejadian yang barusan terjadi. Aku mengambil Bella—boneka beruang berbulu cokelat milikku untuk menemaniku, aku menaruhnya di meja belajar.

Tadinya aku ingin menelepon Ala atau salah satu dari teman-temanku, tetapi aku takut akan mengganggunya.

Lumayan lama membaca novel membuat mataku perih dan rasa kantuk pun datang. "Kak ...." Rasa kantuk seketika hilang saat sebuah bisikan datang ke telingaku. Mataku langsung fresh, aku juga langsung celingukan mencari suara lirih seperti suara bocah di seluruh kamarku. Tetangga di samping rumahku tak ada yang punya anak kecil, rata-rata anak mereka sudah kuliah. Lalu, siapa suara yang barusan memanggilku?

Aku mengelus tengkukku. Rasanya aku ingin pingsan saja sekarang. "Kak ...." Nah, suara lirih itu terdengar lagi, dibarengi dengan Bella yang sedikit bergerak.

"Pergi! Jangan ganggu gue!" Aku berteriak histeris, berjalan mundur menjauhi Bella. Kalian tahu? Yang lebih mengejutkannya lagi adalah Bella bergerak dengan sangat jelas terlihat. Tangannya yang melambai-lambai dan matanya yang mengalirkan beberapa tetes cairan berwarna merah yang kurasa itu adalah darah.

Semakin aku mundur, boneka beruangku itu juga semakin berjalan ke arahku, membuat badanku mentok di tembok. "Kak ... tolong ...."

Jantungku berdetak lebih cepat dari detik jarum jam. Aku mengambil bantal lalu melempari boneka itu. Pada akhirnya, ia tertindih bantal. Melihat peluang untuk kabur dari boneka yang diisi arwah terkutuk itu, aku langsung berlari keluar kamar, sayangnya pintu kamar yang tadinya aku kunci rapat-rapat, macet seketika. "Ibu ...! Tolong!" Aku menggedor-gedor pintu sambil memutar kunci yang sudah masuk ke lubangnya, tetapi pintu tak kunjung terbuka.

Bantal yang menindih boneka kini tersingkir dari tubuh boneka itu, ia berhasil keluar dari himpitan bantal. Melihat itu membuatku semakin berteriak histeris. "Ibu ...!"

Setelah sekian lama memutar kunci serta gagang pintu, syukurnya pintu bisa terbuka. Aku langsung berlari keluar tanpa melihat lagi ke bonekaku itu. Saking takutnya, aku sampai lari ke luar rumah. Ibu yang baru saja pergi ternyata belum pulang.

Aku segera pergi menjauhi rumah. Tanpa tujuan yang jelas akan ke mana, yang pasti untuk sementara aku tak mau berada di rumah, bisa mati ketakutan aku nanti. Lebih baik aku pulang nanti saja, ketika Ibu sudah berada di rumah.

Satu-satunya tempat tempat yang bisa kusinggahi sekarang adalah gerobak nasi goreng langgananku yang lumayan ramai. Huh, ternyata dikejar hantu membuatku lapar. Aku lalu menghampiri gerobak nasi goreng itu. "Bang, satu, ya. Yang pedes!" teriakku sambil menarik satu kursi plastik berwarna hijau terang itu.

"Siap, Mbak Re!" sahur tukang nasi goreng yang memang sudah akrab denganku. Dia mengacungkan jempolnya walau sambil fokus menggoreng nasi.

Aku masih berusaha mengatur napasku yang masih tak beraturan. Nanti sampai rumah, akan kubuang saja boneka beruang itu, agar tak ada lagi kejadian seperti ini. "Loh? Tore, ya?" Suara yang lumayan berat dari seorang laki-laki mengagetkanku. Otomatis pandanganku jadi beralih padanya. Ternyata laki-laki yang menyapaku barusan adalah Rafisqi, si wakil ketua OSIS.

Astaga, ini betulan dia menyapaku duluan? Aku enggak mimpi, kan? Sebab sudah setahun lebih aku menyukainya. Salah satu anak donatur sekolah yang menjabat sebagai wakil ketua OSIS ini juga banyak aktif di beberapa ekstrakurikuler.

Wanita mana yang tak mengaguminya, murid laki-laki yang ramah, berprestasi, dan selalu peduli dengan lingkungan sekitarnya. Namun, sejak menyukainya kala itu, aku tak berani mendekati Rafi. Circle-nya dikelilingi anak orang kaya yang membuatku insecure. Lagi pula, jika aku mengatakan aku menyukainya, yang ada aku dijauhi oleh Rafi. Maka dari itu, aku memilih diam. Diam-diam mengagumi si wakil ketua OSIS ini.

Aku hanya diam tak menjawab sapaannya tadi. Kukira ia akan pergi jika aku mendiamkannya, tetapi ternyata ia malah menarik satu kursi di depanku dan duduk. Astaga, rasanya aku ingin kejang-kejang saja, atau bahkan pingsan karena bisa sedekat ini dengan Rafi. "Lo ... kenal gue?" tanyaku. Aku kira ia tak tahu namaku.

Rafi tertawa, memperlihatkan gigi putihnya yang berjajar rapi itu. "Siapa yang nggak kenal lo, Re? Lo salah satu siswi berprestasi di sekolah karena jalur beasiswa," ucapnya. Aku senang Rafi ternyata tahu namaku, bahkan aku mengira dia tak mengenaliku karena memang kami tak pernah bertegur sapa seperti ini. "Oh, iya, lo beli apa?"

"Emang ada apa aja selain nasi goreng?" jawabku. Entah nada yang barusan kukeluarkan terdengar ketus di telinganya atau tidak, tetapi ia diam seketika. Ya, memang benar, kan? Di sini hanya ada nasi goreng. Basa-basinya terlalu basi di telingaku. "Emh ... ngomong-ngomong lo ngapain di sini? Bukannya rumah lo jauh dari sini?" tanyaku memberanikan diri.

"Gue habis dari rumah Pak Bambang, nganterin berkas proposal kegiatan OSIS, Re. Terus mampir sebentar ke sini karena tadi gue udah pesen nasi goreng buat dimakan di rumah sama nyokap," jelas Rafi dan aku hanya mengangguk paham. Ternyata hidupnya tak jauh-jauh dari urusan sekolah.

Tak beberapa lama kemudian, pesanan nasi goreng milik Rafi datang. "Gue duluan, ya, Re," pamitnya. Aku hanya mengangguk. Setelah kepergian Rafi, kurasa badanku lemas karena sejak tadi tegang berbicara dengannya. Astaga, sadar, Re! Lo kalo kenal cinta, nanti jadi goblok!

"Mbak Re kenapa senyum-senyum begitu?" Bang Mamat si tukang nasi goreng ini tiba-tiba mengagetkanku. Aku yang tadinya senyum-senyum karena salah tingkah mendadak jadi duduk tegap dan bersikap sok cool. Astaga, malunya aku.

"Ng ... nggak apa-apa, Bang. Efek laper jadi gila dikit." Aku lalu menggeser sepiring nasi goreng yang ia sajikan di atas meja. "Ngutang dulu, ya, Bang," ucapku yang sudah lahap memakan nasi goreng pedas dengan lauk telur dadar ini.

"Ternyata laper nggak cuma bikin gila, tapi bikin ngutangnya kumat," ucapnya dengan gelak tawa. Aku juga ikut tersenyum mendengar candaan si tukang nasi goreng ini. Untunglah aku lari ke sini, hingga bisa sedikit melupakan kejadian tadi.

🦇🦇🦇

🦇🦇🦇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
TORENIA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang