THE NEWS' HIGHLIGHT [PART 2]

71 16 2
                                    

2013: Sudut Pandang Orang Ketiga

Sudah dua hari Almira menjadi mangsa Johan. Setiap pelajaran, bila ada guru yang bertanya, "siapa mau jawab?" Johan selalu berteriak, "Almira said she knows the answer, Pak, Bu!" dan berakhirlah kelas didominasi oleh jawaban Almira karena ia dijebak. Bukan hanya itu, setiap kali guru meminta seseorang untuk membuatkan contoh, volunteer untuk membantu guru, presentasi, tanya-jawab, Johan selalu mencecar dan memanggil nama Almira. 

Semua orang tahu, Johan sedang menargetkan Almira, entah untuk dijadikan kekasih atau dijadikan musuh. Mereka menjadi tontonan selama dua hari terakhir ini.

Saat jam makan siang pun, Johan akan duduk di sebelah Almira. Tidak makan, hanya menatap perempuan itu saja dengan tajam. Dia tidak berbuat neko-neko, hanya mengganggunya. Johan tidak perlu mengusik Almira dengan kekuatan yang dia punya. Dengan mengganggu saja sudah cukup membuat perempuan itu naik pitam.

"Apa sih, Jo?!" Akhirnya, Almira tidak tahan lagi. Bukan apa-apa, Almira sudah terlanjur kecewa dengan pria ini. Terlebih, mulut pria ini perlu disekolahkan lagi ke TK! Jika tidak kecewa, Almira akan biarkan saja tuan itu berada di sekitarnya. Namun, kekecewaan Almira membuat dirinya enggan memiliki pembicaraan lagi dengan lelaki itu. Dengan begitu, ia mengumpulkan keberanian untuk menyelesaikannya saat ini.

Perempuan itu menatap tajam Johan yang sedang berdiri di sebelah mejanya. Tentu, Johan dengan terang-terangan menghabiskan waktu di sekitar Almira seperti saat ini. Lelaki itu berdiri sembari sandaran pada meja lain di sebelah meja Almira. Kedua tangannya dilipat di bawah dada, tatapannya tertuju pada Almira yang sedang berbincang dengan Stephanie namun perempuan itu kini sedang lurus memandang dirinya.

"Minta maaf." Tutur Johan menjawab. "Kebetulan lo lagi ngobrol sama Stephanie, minta maaf."

Almira menyungginkan senyum mengejek. "Lo pengen jadi pahlawan buat Stephanie, huh?"

Johan mengambil kursi. Ia membalikkan kursi itu sehingga dadanya bisa bersandar pada sandaran kursi. Lelaki itu kemudian memeluk sandaran tempatnya duduk. Ia melihat Almira dengan menarik satu ujung bibir kanannya, menyunggingkan senyum meremehkan. "Iya, gue pengen jadi pahlawan."

"Oh, hahahaha. Lo pengen dia jadi pahlawan lo, Steph?" Almira mengejek sembari bertanya pada Stephanie. 

Sebelum Stephanie menjawab, Almira sudah melanjutkan perkataannya. "Denger ya, Tuan. Kalau nuduh, perlu ada bukti bukan cuma asumsi." Almira berbicara begitu sembari menatap bola mata Johan. Kemudian, tatapannya berganti pada Stephanie. Suaranya ia rendahkan dan berbisik, "Steph, bukan gue."

Almira melirik tajam pada Johan, kemudian dia pergi meninggalkan Stephanie dan lelaki remaja yang membuatnya muak di kelas. Tontonan scene drama di sekolah berakhir karena objek tontonannya berpisah. Beberapa orang yang tertarik dengan kisah mereka tidak lagi memandangi mereka saat itu. Namun, bisikan-bisikan tetap ada.

***

Johan mengejar. Dia tidak tinggal diam. 

Tangannya menarik lengan Almira dengan kuat hingga puan itu memutar badannya. Kena kau!

Almira? Oh tentu saja dengan mata penuh kebencian melihat Johan, ia menampik tangan lelaki itu. Hanya saja, kekuatannya tak cukup untuk membuat Johan melepaskan genggaman. "Lo minta maaf atau gue telpon restoran dan dengan sekali bilang, lo bakal kehilangan kerjaan lo."

Almira tidak bisa berkata-kata. 

Enak sekali ya jadi orang kaya.

Emosinya kini campur aduk. 

Demi Tuhan, lelaki ini titisan iblis?

Almira hanya bisa menatap lelaki itu dalam diam. Namun tatapannya mengekpresikan berbagai emosi. Ia merasakan malu, merasa begitu marah, begitu terhina, begitu kecewa pada lelaki ini. Ia pikir, Johan bukan lelaki yang mereka bilang--kau tahu, lelaki bad boy yang ingin berkuasa--tapi ternyata Johan memang begitu. Johan memang lelaki buruk dengan segala sikap dan akal bulusnya. 

Almira benar-benar terbungkam. Kedua manik bola matanya mulai berkilau, memperlihatkan genangan air mata yang siap turun. Marah sekali dirinya sampai ia hanya mampu menahan tangis.

Hening.

Mereka hanya saling bertatap.

"Aduh argh, astaga!" Keluhan sakit Johan memecah keheningan mereka. Tangan Johan terlepas begitu saja dari Almira. Lelaki itu digiring paksa menjauh dari Almira.

Saat itu, air mata sang puan turun. Ia menyekanya dengan cepat, menutupi rasa sakit yang ia miliki. Untungnya, tak ada yang memperhatikan mereka. 

***

"Sam, Almira tuh--"

Johan terdiam melihat raut wajah Samuel yang--sungguh--mengerikan. Auranya tidak bisa dibandingkan dengan dirinya, seperti siap melahapnya habis. Padahal, lelaki itu tidak berbicara apa-apa, dia hanya menatap Johan dengan amarah. Lutut Johan saja rasanya melemas.

Johan bergeming.

"Bukan Almira. Lo jangan bego."

Hanya itu yang dikatakan Samuel pada Johan sebelum akhirnya ia melangkahkan kaki menjauh dari sahabatnya itu. Pada langkah terakhir, Samuel menoleh. "Oh, ya. Kayanya lo mesti cari anak pemilik Jakarta Broadcasting Center ketimbang cewek yang lo tempelin dua hari ini. Gak ada berita apa-apa selama dua minggu, tiba-tiba berita muncul pertama kali di JBC. Lo gak curiga?"

Johan memang bodoh.

Ia tidak berpikir sejauh itu.

Samuel melangkahkan kakinya lagi, menyisakan Johan dengan rasa penasaran yang membuncah. 

***

to be continued

Halo teman-teman! Aku udah mulai berkegiatan nih hiks. Jadi mungkin dalam waktu seminggu, aku mungkin tidak update setiap hari seperti kemarin. Semoga teman-teman masih menunggu kisah inI! Salam sehat!

CLASS OF '14 [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang