[19] Oliver?

198 36 1
                                    

Kantin, Akademi Arendith.

"Pelit!" cibir Dylan sambil cemberut.

Erza memandangnya malas. "Apakah keluarga bangsawan yang terhormat jatuh miskin sampai tidak bisa membeli makanan untuk mengisi perutnya sendiri?" tanya Erza.

Dylan: "..."

Arthur tertawa. "Dylan adalah pemakan besar. Lihatlah perutnya yang membesar oleh lemak."

Dylan meliriknya sinis. "Hentikan omong kosongmu, Pangeran." Dylan mengalihkan tatapannya ke arah Erza. "Jadi kamu dan Zean adalah satu tim? Bukankah rumornya ada tiga orang untuk satu tim?"

Erza menganggukan kepalanya dengan tangan yang memegang tusuk sate. "Memang," jawabnya.

"Lalu siapa satu lagi?" tanya Dylan penasaran.

Di bawah sinar cahaya dari lampu, mata Arthur tampak berkilat. "Zaza, apa kamu yakin dengan kemampuan toyboy itu?" tanya Arthur dengan nada cemas yang terlihat tulus, namun nyatanya hanya akting. Arthur berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Kamu memotongku!" seru Dylan kesal.

Arthur hanya meliriknya acuh tak acuh.

"Percayalah, aku bisa diandalkan. Bahkan lebih bisa diandalkan dibanding kamu, Pangeran." Zean menatap Arthur penuh konfrontasi.

"Apa kalian akan mulai berdebat lagi?" tanya Erza sambil menghela napas kasar.

Arthur tersenyum sedih. "Tidak. Hanya saja toyboy ini terlihat sangat lemah. Sekali lihat aku langsung tahu kalau dia akan menjadi beban," ujar Arthur.

Erza mengerutkan keningnya. Memikirkan kata-kata Arthur di kepalanya. Lalu melirik Zean. "Aku ingat, bukankah itu yang akan kita bahas? Apa saja kemampuanmu?" tanya Erza.

"Yakinlah, aku sanggup mengendalikan Kinesisku dengan sangat baik." Zean tersenyum.

Mengabaikan tatapan Arthur, Liam, dan Dylan, Erza melanjutkan pertanyaannya. "Menurutmu siapa yang akan menjadi musuh terkuat kita?" tanya Erza di sela kunyahannya.

Erza terlihat sangat santai. Tetapi kenyataannya ia remaja yang cukup cerdas, dan bisa menyesuaikan kondisinya dengan cepat. Bahkan meski sambil makan pun, telinganya masih mendengar dengan baik perkataan orang-orang di sekelilingnya.

Memang terkesan tidak sopan dan sangat bar-bar untuk seukuran istri pangeran. Tapi jika itu membuat Erza nyaman, Erza tidak peduli. Lagipula ia sudah bebas dari kelas nenek tua kejam itu. Terlebih lagi saat ini ia tidak sedang di acara formal yang menjunjung tinggi etika. Hanya makan di kantin, untuk apa bertingkah anggun mengingat citranya sudah sangat buruk.

Zean mengerutkan kening, tampak tengah berpikir. Sebelum Zean menjawab, Arthur sudah meledeknya.

"Aku pikir dia bahkan tidak mengenal musuh-musuhnya nanti," cibir Arthur.

Zean memandangnya dengan senyum palsu. "Percayalah, aku tahu apa yang akan lakukan," jawabnya sambil mengalihkan pandangannya ke arah Erza. "Aku tidak memikirkan tim lain sangat kuat. Tapi aku memikirkan tim yang kemungkinan besar akan menargetkan tim kita."

Alis Erza terangkat. "Maksudmu tim Vince?" Erza mengatakan itu sambil melirik ke arah Liam. Seperti dugaannya, remaja laki-laki itu akan langsung merespon ketika ada seseorang yang menyebut nama adik toyboynya itu.

Mengabaikan tatapan mata Liam yang sedang memberinya peringatan. Erza menatap Zean dengan sungguh-sungguh. "Tidak apa-apa. Biar aku buat toyboy itu menyesal karena telah dilahirkan ke dunia," ujar Erza berapi-api. "Beraninya dia mendekati suamiku?! Lihat bagaimana aku akan menghancurkan wajahnya nanti!" Erza mendengus dingin.

Empat remaja laki-laki yang ada di sana menatap Erza dengan berbagai macam emosi. Tatapan tajam dengan niat membunuh yang dilancarkan oleh Liam. Tatapan kagum penuh pemujaan Dylan. Tatapan bingung Zean. Dan terakhir tatapan Arthur yang terkejut seperti orang bodoh.

Apa barusan Zaza memangilnya 'suamiku'? Apa Zaza sudah membalas perasaanku? Arthur tidak bisa menahan senyumnya. Lalu melirik Zean dengan senyum kemenangan.

Melihat konfrontasi itu Zean hanya bisa memasang wajah poker. Memegang sendok dan mulai melahap makanannya tanpa minat.

"Jika kamu menyentuh Vince, aku tidak segan membunuhmu!" ancam Liam.

"Ingin menyakiti Zaza? Langkahi dulu mayatku," sahut Arthur.

Liam mendengus, membuang muka.

"Ngomong-ngomong, kenapa Oliver lama sekali?" gumam Erza sambil menatap Zean. "Ini sudah hampir 20 menit. Apa dia baik-baik saja?"

Zean mengangkat bahunya. "Entahlah, aku tidak tahu," jawabnya.

Mendengar itu, atensi Liam teralihkan, sedangkan wajah Arthur langsung terdistorsi namun segera menampilkan wajah pokernya.

"Oliver?" Liam menatap Erza dengan kening yang berkerut.

"Kamu salah dengar," ujar Arthur. "Mereka menyebut Olizer."

"Apa kamu pikir aku tuli?!" Liam mendengus.

Erza mulai menyadari ada sesuatu yang aneh. Apakah Oliver memiliki hubungan dengan Liam? Apa Oliver adalah pelayan Liam yang diculik oleh Arthur untuk dijadikan pelayannya?

"Aku tidak mengatakan itu." Arthur menatapnya dengan wajah poker.

Wajah Liam menggelap. "Aku menunggu penjelasan," ujarnya dingin.

Meski bingung, Erza memilih untuk tidak bertanya. Bukannya dia tidak peduli. Hanya saja ini menyangkut Oliver. Dugaannya Oliver memiliki masalah dengan Liam. Mengingat Oliver yang tiba-tiba saja mengutarakan alasan yang terdengar masuk akal namun sangat kebetulan.

"Mengingat kemampuanmu adalah mengendalikan kertas. Bukankah kamu lemah terhadap api dan air?" Erza menatap Zean, berusaha membuka percakapan baru.

Arthur memberikan tatapan dingin. "Kertas? Kinesis yang sangat lemah."

"Bisakah kamu diam?" Erza mendengus. Oh ayolah! Aku bertanya pada Zean, bukan padamu.

"Aku memang lemah terhadap dua itu," jawab Zean mengabaikan kalimat Arthur.

"Baiklah, kita harus menghindari pengguna Pyrokinesis dan Hydrokinesis," ujar Erza.

2557 : Became The Crown Prince's FianceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang