[20] Peluang

193 37 0
                                    

Mansion Welsh.

"Apa?!"

Erza melotot dengan sinar ketidakpercayaan di wajahnya. Rautnya yang tegang membuatnya terlihat pucat ketakutan.

"Nenek sihir! Beraninya dia menipuku!" Erza menggeram marah dengan mata tajam yang menatap Arthur. "Kenapa kamu baru bilang sekarang, Pangeranku? Tahukah kamu, tindakanmu membuat hatiku terluka?" Erza berkata dengan nada yang menyakitkan.

"Maaf." Arthur menghela napas tidak berdaya. "Aku tidak memiliki kemampuan untuk mencegahnya."

Erza memijat keningnya yang seketika terasa pening. Demi Tuhan! Aku benci Nenek Tua itu!

"Tidak bisakah kamu mengusahakannya?" tanya Erza dengan tatapan memohon.

Arthur menggeleng, membuat bahu Erza terkulai pasrah.

"Nenek Tua itu sangat kejam!" seru Erza lemas. "Aku sudah senang terbebas darinya. Kenapa tiba-tiba berkata ingin mengajariku lagi?"

"Aku tidak tahu," jawab Arthur.

"Besok ada kelas bertarung, dan beberapa jam lagi Nenek Tua itu akan menyiksaku," gumam Erza dengan nada pahit.

Dia merasa sangat depresi. Sebenarnya bukannya Erza tidak menyukai pelajaran Nenek Tua itu. Hanya saja Nenek Tua itu terlalu perfeksionis. Apapun yang dilakukan Erza haruslah sempurna.

Hal itu juga yang membuat Nenek Tua itu terkenal. Dan menjadikannya orang nomor satu dalam pelajaran etika. Konon katanya, para Pangeran dan Putri yang berada di bawah bimbingannya terlihat sangat anggun dan bermartabat seperti dewa-dewi.

Erza merasa itu semua hanya omong kosong. Bukannya menjadi mempesona seperti seorang dewa. Faktanya sekujur tubuh Erza terasa sangat sakit, dan hampir encok. Menjadikannya seperti seorang pasien rumah sakit yang kabur.

Bayangkan saja, Erza diharuskan duduk tegak dan tidak boleh menyender pada sandaran kursi selama hampir 5 jam. Setelah itu berlatih cara berjalan, cara duduk dan lainnya.

Dari semua jenis pelajaran itu. Ada satu yang paling Erza benci. Pelajaran mimik muka. Nenek Tua itu menyuruhnya untuk tersenyum selama lebih dari 4 jam, atau bahkan menyuruhnya untuk tertawa selama 3 jam. Nenek Tua itu berkata, hal itu bertujuan untuk membuatnya bisa mengendalikan ekspresinya dan melatih tawa anggun khas seorang putri kerajaan.

Erza mencibir dalam hati. Bukannya menjadi anggun, dia justru merasa dilatih untuk menjadi gila. Mengingat tertawa sendirian selama berjam-jam, dan hampir membuat rahangnya copot. Bahkan Erza pernah merasa trauma dengan yang namanya tertawa. Karena itu membuatnya mengingat ketika rahangnya terasa sangat sakit dan kaku.

"Materi apalagi yang akan aku pelajari?" tanya Erza tanpa semangat.

Arthur mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu," jawabnya.

"Selalu tidak tahu! Dasar tidak berguna!" dengus Erza sambil cemberut, lalu menenggelamkan wajahnya di tumpukan bantal. "Aku tidak ingin menemui Nenek Tua itu!!" rengek Erza sambil menendang-nendang kasur.

"Jangan merajuk," ucap Arthur sambil menghela napas. "Mungkin dia ingin kamu benar-benar merubah sikapmu, tidak hanya untuk urusan formal namun dalam kehidupan sehari-hari."

Erza menatapnya dengan raut aneh. "Itu mengerikan!" serunya. Memikirkan dia harus duduk tegak dan bersikap anggun di mana saja dan kapan saja membuat kepala Erza menjadi pusing. Dia merasa tidak sanggup melakukannya.

"Semangat Tuan Muda! Aku yakin kamu bisa," ujar Oliver yang sedari tadi diam.

"Ya, aku yakin bisa ... bisa gila!" ujar Erza penuh sarkasme.

2557 : Became The Crown Prince's FianceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang