[18] Cemburu

219 37 0
                                    

Kantin, Akademi Arendith.

"Zaza! Siapa laki-laki itu?!" teriak Arthur marah ketika menyadari Erza yang tengah berjalan bersama laki-laki lain, menuju ke arahnya.

Dengan cepat Arthur bangkit, menghampiri Erza dan menarik tubuh Erza ke dalam rengkuhannya. Lalu menatap Zean penuh permusuhan.

"Tenanglah," ujar Erza jengah ketika beberapa pasang mata tengah menatap ke arah mereka. "Kenalkan, dia Zean, teman sekelasku."

"Oh? Jadi hanya anak kelas 1," ledek Arthur dengan seringainya.

"Yakinlah, meski hanya kelas 1. Aku dapat memuaskan napsu brutalmu, Pangeran Arthur." Zean membalas Arthur dengan tenang. Terlihat tidak kehilangan pijakannya, meski berhadapan dengan seorang Pangeran.

"Aku akan menunggu bagaimana kamu memuaskanku," sahut Arthur sambil menarik Erza menuju kursinya.

Zean mengikuti dengan cuek. Lalu duduk di samping Arthur.

"Siapa dia?" tanya Dylan menatap Zean dari atas sampai bawah.

"Teman sekelas Zaza-ku," jawab Arthur dengan penekanan di setiap katanya.

"Ayolah! Dia adalah teman istrimu. Untuk apa begitu posesif?" tanya Dylan jengah.

Cih! Pangeran bajingan ini hanya pura-pura posesif! Mungkin dia menjadikan aku tameng untuk melindungi skandalnya!

Erza mendengus, lalu menatap Zean.

Merasa ditatap, Zean segera angkat bicara. "Aku akan pesan sekarang," ujarnya.

"Aku suka pedas. Kamu bisa memesankan extra saus untukku," pinta Erza mengabaikan wajah Arthur yang menggelap.

"Baik," ujar Zean sambil memberikan senyum penuh kemenangan saat Arthur menatapnya tajam.

"Pesan apa?" Arthur mendelik. Tidak bisa menahan amarahnya.

"Sate Six Winged Bird," jawab Erza. "Zean bilang akan mentraktirku."

"Omong kosong! Kamu punya aku, untuk apa meminta traktiran dari pemuda sepertinya?!" Arthur mendengus.

Erza menatapnya malas. "Apakah kamu pernah memberikan inti monster kepadaku?" Erza memutar kedua bola matanya kesal. "Tidak, kan? Lalu untuk apa kamu mengatakan itu?"

Dylan terperangah. "Tidak kusangka kamu masih saja pelit meskipun sudah menikah!" serunya.

"Pangeran Arthur sangat pelit," tanggap Zean sarkas. "Punya banyak uang, tetapi pelit terhadap istri sendiri. Lalu kemana perginya uang-uang itu?"

"Jangan membual!" Arthur menatap Zean tajam. Begitu banyak pasang telinga yang mendengarkan, beraninya dia berkata seperti itu!

"Pangeranku, kenapa kamu menatap Zean dengan tatapan penuh permusuhan?" tanya Erza kesal. "Zean adalah anggota timku sekarang. Jadi, tidak ada yang boleh merendahkannya. Bahkan kamu!"

Arthur menatap Erza sedih. "Dia terlihat lemah. Apalagi yang bisa kamu andalkan? Seharusnya kamu ajak aku, bukan dia."

Erza memutar kedua bola matanya. "Kamu kelas 3, kami kelas 1. Bagaimana mungkin kamu mengikuti mata pelajaran kelas 1?"

"Aku bisa membuatnya menjadi mungkin," ucap Arthur tegas.

"Tidak." Erza menolak. "Itu hanya akan membuat citramu jelek. Berhentilah bersikap menggelikan!"

"Erza benar. Berhentilah bersikap seperti budak cinta!" ujar Dylan.

"Diam! Aku tidak berbicara denganmu!" sahut Arthur.

"Aku tidak akan menunggu perdebatan kalian." Zean memotong. "Aku akan pesan makanan."

"Tidak." Arthur menatapnya tajam. "Aku tidak akan membiarkanmu mentraktir Zaza. Biarkan aku yang membayarnya. Kamu urus saja urusanmu sendiri."

Zean tersenyum palsu. "Aku sudah berjanji mentraktir Erza. Sebagai seorang pria, tidak mungkin bagiku untuk menarik perkataanku!"

"Kenapa harus berdebat? Akan lebih baik kalau kalian berdua mentraktirku," sahut Erza jengah.

"Baiklah."

"Kamu sangat buas," ujar Dylan ketika Arthur dan Zean pergi memesan makanan.

"Dan tidak tahu diri," sambung Liam menatap Erza sinis.

"Abaikan saja makhluk aneh sepertinya," sahut Dylan kesal. "Seorang pria yang bahkan berlutut di kaki adiknya!"

"Sekali lagi kamu berbicara. Jangan salahkan aku menebas kepalamu," sahut Liam dingin.

"Hmph!" Dylan mendengus. "Dari umur 6 tahun aku sudah diancam olehmu. Buktinya aku masih tetap hidup sampai detik ini, menandakan kamu tidak cukup mampu untuk menebas leherku."

"Omong kosong!" Liam mengatupkan giginya, menatap Dylan ganas. "Tubuh penuh lemakmu sangat mudah dipotong menjadi bagian-bagian kecil!"

"Bisakah kalian diam?" Erza menatap kedua laki-laki di depannya dengan jengah. "Jika ingin berkelahi, lakukanlah! Jangan hanya adu mulut seperti seorang gadis!"

Dylan: "..."

Liam: "..."

"Erza! Pria-mu ini mengancamku untuk menjauh darimu!"

Dari kejauhan Zean berteriak dengan wajah yang terlihat sangat tertekan seolah habis ditindas. Tidak jauh darinya, Arthur memasang wajah ganas, seolah ingin mencekik Zean sampai mati.

"Pangeranku, kenapa kamu begitu jahat terhadap temanku?" tanya Erza kesal.

"Aku tidak melakukan itu Zaza. Percayalah padaku," sahut Arthur sambil menggeram kesal. Lalu menatap Zean dengan sangat tajam. "Pria busuk ini menfitnahku!"

"Aku adalah anak baik. Bagaimana mungkin aku memiliki keberanian untuk memfitnah seorang Pangeran?" Zean berkata getir.

"Kamu! Pria busuk!" Arthur menggeram marah ke arah Zean.

Zean yang ditatap seperti itu langsung bersembunyi di belakang punggung Erza. "Suamimu menggertakku!" serunya kepada Erza.

Erza menghela napas lelah. "Pangeranku, apa harus bertindak sejauh itu?" tanyanya malas. Oh ayolah! Aku sangat lapar! Kapan aku bisa makan jika kalian terus bertengkar seperti anak-anak?!

Arthur mengangguk sambil menahan amarahnya. Matanya menatap Zean dengan tatapan membakar. Sangat tajam dan siaga.

"Kapan makanannya akan datang?" tanya Erza bosan sambil menangkupkan dagunya.

"Sebentar lagi," sahut Arthur.

Dan benar saja, beberapa robot yang membawa troli sedang bergerak ke arah meja mereka. Membawa begitu banyak makanan. Padahal niat awalnya hanya ingin mencicipi sate.

"Bisakah aku memiliki satu troli?" tanya Dylan penuh harap.

Erza meliriknya singkat.

"Tidak."

2557 : Became The Crown Prince's FianceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang