Episode 11

2 1 0
                                    

Alunan nada yang indah terdengar dari sitar yang dimainkan pemuda itu. Sitarnya biasa saja, tetapi melodi yang ia ciptakan seakan tercipta di alam surgawi. Jemarinya begitu lincah menari diatas senar-senar sitar. Mata bulat dan polos itu hanya mengerling centil pada penontonnya dan senyumnya begitu lepas tanpa beban. Ia tampak sangat indah dalam balutan jubah berwarna hijau samar. Pemuda Nilam begitu mempesona dalam permainannya. Dan penampilan fisiknya sama indah dengan permainan sitarnya.

Nilam bermain sama indahnya dengan saat ia memainkan musik tanpa dilihat orang lain. Ia sangat santai dan tenang, bahkan saat seluruh bangsawan dan rakyat jelata dari berbagai negeri menyaksikan permainannya dalam sebuah panggung arena.

Nilam menutup permainan itu dengan satu jarinya memetik senar dengan gaya menggoda. Tepuk tangan memuji-muji datang dari berbagai arah. Dengan bangga Nilam berdiri dan membungkuk, menerima segala pujian dan berterimakasih atas semua pujian itu.

 
Namanya Nilam. Ia adalah putra dari seorang dewa setengah manusia. Lahir dari alunan nada yang diciptakan oleh ayahnya. Dan hidup di dunia manusia, tanpa pernah ada orang yang tahu bahwa dia adalah seorang dewa. Ya, sifat dewa dalam diri Nilam lebih dominan dari pada sifat manusia. Secara fisik dia benar-benar terlalu menawan dan kekuatannya pun setara dengan kekuatan dewa. Ia juga abadi seperti para dewa. Tapi ada satu sifat manusia yang menempel pada dirinya. Kasih saying. Jika Nilam terlanjur jatuh sayang pada seseorang, maka sama seperti refleks manusia, ia akan melakukan apapun untuk orang yang dia sayang.
 

“Nilam…”

“Tidak.”
 

Itu adalah percakapan antara ayah dan anak. Kini keduanya berhadapan di tempat yang sama, ruang rumah yang menjadi saksi Nilam tumbuh menjadi pemuda berusia dua-puluh-dua tahun.
“Kesempatan untuk tinggal di kahyangan tidak datang sekali dua kali, Nak. Ini adalah suatu kehormatan besar darimu, anugerah dari para dewa. Tidak pantas jika menolak.”

Ya,  itu adalah suara ayah Nilam yang sedang berbicara. Memang tadi siang telah terjadi suatu peristiwa besar—dan mungkin hanya akan terjadi satu kali dalam sejuta tahun.

Raja dari Negeri Matahari turun sendiri ke bumi, menyamar menjadi seorang pendeta, dan menyaksikan permainan Nilam. Lagu yang dimainkan Nilam adalah lagu ciptaan dewa muda itu sendiri, lagu yang diciptakan di dunia tetapi memiliki keindahan surgawi di dalamnya. Pendeta itu mengubah wujudnya, dan berhasil menimbulkan kegaduhan dari para penonton. Bagaimana tidak? Tiba-tiba seorang dewa bergabung di antara mereka. Berada di tengah-tengah mereka. Dan ia bukan dewa biasa. Ia adalah raja dari Negeri Matahari. Sumber kekuatan utama dari matahari yang menerangi bumi mereka.
Nilam juga tak kalah terkejut. Ia belum pernah melihat raja dari Negeri Matahari. Ia belum pernah melihat sosok dewa yang agung dan kondang di bumi ini. Semua manusia yang ada di sana membungkuk, bersujud memberi hormat kepada sang dewa. Nilam sedang menyamar sebagai manusia. Orang-orang hanya tahu bahwa dia adalah manusia. Ia tak bisa bersujud. Dewa tidak boleh bersujud kepada dewa yang lain. Ketika Nilam masih bimbang antara harus ikut bersujud ataukah hanya berlutut, dewa itu telah berdiri di depannya. Ia tampak begitu gagah dan tampan. Rahangnya sangat tajam, seakan-akan ia bisa membelah bulan dengan rahangnya yang tajam itu. Mata bulat Nilam semakin membulat karena terkejut, dan refleks ia hanya berlutut.
 

Grep!
 

Tangan Raja Matahari menangkap bahu Nilam, mencegahnya untuk berlutut. Dengan suara baritone yang penuh wibawa itu ia berkata, “Tidak usah. Kau adalah dewa yang setara dengan kami. Untuk apa kau harus berlutut.
Dan seketika seluruh warga terperanjat kaget. Mereka  tak pernah menyangka bahwa pemuda murah senyum dan terkadang konyol itu ternyata adalah seorang dewa. Dan tentu… mereka juga tahu bahwa kepala desa mereka tentu jugalah seorang dewa!
 

Under The Sun LanternTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang