Episode 1

22 5 8
                                    

Jemariku berhenti mengetik setelah kalimat sakti ‘tamat’ berhasil diketik. Aku menghela napas dan menyandarkan kepala di kursi berbusa yang aku duduki. Kuraih mug merah muda berisi cokelat yang masih panas. Asapnya mengepul, dan ketika mengisap isinya kacamataku berembun hingga mataku tak bisa melihat apapun. Kuikat rambutku dengan sederhana. Kukirimkan file terakhir kepada Mbak Gi, seorang yang aku tak tahu harus mengenalkannya sebagai apa. Entah editor, sahabat, atau kakak.

Aku merebahkan diriku di atas kasur, setelah mematikan laptop. Kamarku berada di sebuah apartemen mewah di Jakarta. Dari gedung lantai sepuluh, aku bisa melihat keramaian yang masih tersisa. Jakarta tiada sepinya. Bahkan saat jam menunjuk angka sebelas malam. Kamarku memang menghadap sebuah jendela besar. Membuatku bisa menghadap ke bawah. Saat malam begitu indah. Tapi saat siang rasanya seperti neraka menitipkan batu baranya di dalam kamarku. Selambu besar selalu tertutup ketika siang bolong. Hanya dibuka setiap pagi dan malam, saat beranjak tidur aku tutup lagi. Aku tidak mau mengambil risiko jika ada makhluk dari antah berantah lain yang tiba-tiba terbang dan tersenyum ke arahku. Hih! Baru membayangkannya saja bulu kudukku susah merinding tak karuan.

 
Drrttt…
 

Aku yang tengah menatap mobil dan motor yang lalu-lalang terpaksa berhenti saat ponselku bergetar. Ternyata dari Mbak Gi. Tanpa berpikir dua kali aku langsung mengangkatnya.

“Halo?”

Halo, Ras? Ini file bab terakhir kan ya?

“Iya Mbak.”

Okay…

“Kira-kira bisa terbit kapan ya?”

Ahhh, nggak lama kok! Mbak udah ngerevisi semua naskah kamu. Tinggal desain cover sama naik cetak doang.” Mbak Gi tiba-tiba berdeham. “Ras?

Mengetahui kalimat terakhirnya mengandung tanda tanya, aku langsung menjawabnya. “Apa?”

Anu… saran Mbak… kamu pertimbangin nggak?

Aku mengembuskan napas, memijat pelipisku. “Udah Mbak, tapi aku kinda capek ngurusin alur lagi. Terus Mbak tahu sendiri kan, aku sering dikritik karena menciptakan tokoh yang itu-itu aja karakternya—yet, I know it’s my style of writing tapi ya aku harus mengikuti pasar. Mau gak mau. Kerjaanku sebagai guru Bipa nggak sanggup buat bayar biaya sewa apart ini. Damn, my dad leaves this fuckin pricey apart bukannya buat Mbak Silvia yang suaminya kaya-raya tujuh turunan malah buat aku yang kere kayak gini!”

Aku tahu Mbak Gi mengangguk-angguk. “Yes, I know. Apalagi sekarang pembaca kamu kebanyakan anak sekolah jenjang SMP-SMA dan beberapa anak kuliahan yang lebih tertarik dengan lovey dovey story ketimbang fantasi. Tapi kamu kehilangan ciri khas…

“Aku tuh cuma kepingin nyoba genre baru, okay I’ll admit aku masih gak bisa lepas dari genre fantasi dengan politiknya tapi setidaknya aku udah bisa menyusun skenario romantis!”

Saraswati, dengerin Mbak ya. Kamu yakin sama alur ini? I mean like, tokoh Naya ini agak ‘beban’ yang bisanya cuma ngerepotin lead male dan Rakai I think he is too stupid. Dia ngorbanin apapun buat Naya dan bukannya romantis malab kinda… meh…” Mbak Gi meneruskan. “Dan kamu terlalu jahat sama tokoh antagonis di sini. Si kembar Aruna-Embun dari awal sudah menderita karena lahir dari kekuatan spiritual dewa rendahan. Padahal mereka yang pahlawan tapi diperlakukan lebih buruk dari kriminal! Is it fair? Menurutku nggak fair buat Aruna, Embun, dan tokoh antagonis lainnya! Mereka lebih deserve jadi peran utama ketimbang Naya dan Rakai!”

Aku menggaruk tengkuk. “Gitu ya?”

Ya iya! Mbak gak tahu apa yang ada di otak kamu pas nulis novel ini! Hampir semua tokoh utamamu punya karakter seperti Aruna, tapi kenapa kali ini dia bukan pemeran utama???

Under The Sun LanternTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang