Episode 17

0 0 0
                                    

Aku belum pernah merasa begitu awkward sebelum saat ini. Sudah lama sekali aku tidak berjalan beramai-ramai bersama orang lain. Mungkin terakhir saat ada event jalan sehat wajib ketika aku masih mengenyam bangku SMA. Bahkan saat kuliah aku lebih sering pergi berjalan-jalan sendiri ketimbang beramai-ramai. Aku menoleh kearah belakang, jika dihitung-hitung ada sembilan pelayan wanita dengan pakaian kuning pucat dan rambut digelung tinggi mengikutiku.

Sret.

Aku sengaja berhenti. Dan mereka berhenti dengan kompak tanpa saling menabrak satu sama lain. Aku iseng bergeser ke sebelah kiri. Dan mereka dengan kompak juga bergeser ke sebelah kiri. Aku mencoba geser ke sebelah kanan, dan mereka ikut bergeser ke sebelah kanan. Aku melangkah mundur, mereka dengan kompak ikut mundur. Aku mulai membuat gerakan maju mundur. Awalnya pelan, dan mereka sanggup mengikutinya. Aku sengaja ingin mengisengi mereka,, dengan cara melangkah maju-mundur bolak-balik dengan cepat. Dan para pelayan itu mengikuti langkahku dengan sabar tanpa mengeluh sama sekali. Lama-lama aku yang capek sendiri, akhirnya aku menoleh kearah sembilan pelayan itu dengan sebal.

“Apa perlu orang sebanyak ini untuk mengantarku ke aula? Ayolah, aku sudah dewasa! Meski tidak tahu jalan aku kan bisa sesekali bertanya kepada para pengawal yang berjaga!” Protesku. Sebenarnya jumlah meteka yang banyak saja sudah aneh. Sekarang tingkah mereka yang terus meniru semua gerakanku membuatku semakin bergidik ngeri.

“Yang Mulia,, sangat wajar jika kami akan selalu mengikuti Yang Mulia karena memang itu tugas kami.” Ucap salah seorang pelayan.

“Satu saja sudah cukup kalau mau menjagaku! Ayolah, aku bukan bayi!”

“Yang Mulia,, sembilan pelayan adalah jumlah yang sangat sedikit.”

“Oh iya? Memang biasanya Putri Naya itu diikuti oleh berapa pelayan?”

“Empat belas, Yang Mulia.”

“Pffttt!” Aku hampir tersedak ludahku sendiri. “Empat belas?!”

“Iya, Yang Mulia.”

“Astaga… dulu aku mencari satu pembantu saja susahnya minta ampun…” Curhatku, mengingat hari-hari saat aku mencari pembantu untuk ditempatkan di rumah orangtuaku.

Saat itu mataku tanpa sengaja melihat Embun yang juga diikuti oleh sembilan pelayan pria. Aku hampir tidak berkedip ketika melihat penampilan baru adikku itu. Biasanya ia hanya memakai jubah berwarna gelap dan alakadarnya, kini ia memakai jubah yang sangat mewah. Meski warnanya hanya putih polos, tapi itu adalah jubah paling bersih yang pernah aku lihat. Kainnya pun kelihatan mahal, dan ada beberapa sulaman benang perak yang membentuk bentuk-bentuk akar dan bunga. Pergelangan tangannya dihiasi gelang perak. Rambutnya ditata dengan rapi dan diberi mahkota dari perak. Rambut yang biasanya agak kasar itu kini benar-benar sangat halus.

Mataku tak berkedip ketika melihat penampilan Embun. Pembawaannya yang tengil pun seketika hilang, berganti menjadi seorang pangeran yang terdapat dalam buku-buku dongeng. Tampan dan penuh wibawa. Tapi baru saja hendak terpesona lebih jauh, Embun trlah menghancurkan ekspetasiku sendiri.

“KAKAK! LIHAT MEREKA! MEMAKSAKU MEMAKAI BERLEMBAR-LEMBAR KAIN! PADAHAL SEMUA YANG MENEMPEL DI TUBUHKU SAAT INI BISA DIGUNAKAN SAMPAI TIGA HARI!”

Zonk. Wibawanya langsung hilang seketika. Aku mulai merasa wajahku memerah dan memanas karena tingkah memalukannya.

“AKU BENAR-BENAR INGIN PULANG KE DUNIA SILUMAN DAN TIDUR SEHARIAN! KEPALAKU BENAR-BENAR PUSING MEMAKAI MAHKOTA SEBERAT INI!”

Benar-benar memalukan.

Aku mendekat kearahnya, lalu kucubit keras pinggangnya hingga membuat Embun berteriak kesakitan.

“Jangan membuat tingkah di depan para pelayan. Mau ditaruh dimana mukaku?”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Under The Sun LanternTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang