Episode 4

3 1 0
                                    

Angin berembus kencang—lebih kencang dari pada saat berada di lembah. Di Puncak bukit, beralaskan permadani hijau yang kini hijau indahnya ditutupi oleh langit malam tiada sinar matahari. Berbaris dan berkelok. Begitu indah pemandangannya. Mataku hampir lupa bagaimana cara untuk berkedip tatkala melihat permadani indah ini. Benar-benar seindah lukisan. Seakan-akan saat ini aku tengah terjebak dalam sebuah lukisan perbukitan di zaman kuno—meski kenyataannya adalah aku memang tetrjebak di zaman kuno.

Kuangkat busurku sejajar dengan bahuku. Tanganku lurus. Dan satu tangan lagi menarik senar, dari sana muncul segaris cahaya biru yang bersinar mulai pelan-pelan membentuk sebuah anak panah yang berkilauan seperti disiram sinar bulan. Mataku berbinar ketika menatap indahnya busur itu. Benarkah keajaiban ini muncul dari tanganku?
Kutarik anak panah itu, dan mataku mengincar mata banteng yang dilukis pada sebuah papan kayu. Aku tahu betul bahwa mataku ini minus. Tetapi sasaranku benar-benar terlihat dengan jelas. Kulepaskan anak panahku dengan mantap, mengayun seperti ekor harimau.

 
Sret!
 

Anak panah itu tepat mengenai sasaranku, yakni mata banteng tersebut! Aku tersenyum lebar, menampilkan deretan gigiku yang rapi. Aku tidak pernah berlatih panah sebelumnya, tetapi aku bisa melakukan hal sebaik ini.

 
“Kau luar biasa, Kak!”
 

 ***

 
“Dewa Rendahan! Tidakkah terlalu berbahaya untuk menyimpan jimat yang telah digunakan? Setiap jimat yang telah digunakan haruslah dibuang! Setiap jimat haruslah dibakar!”

 
Delapan-puluh-delapan dewa telah berdiri di padang pasir. Seorang dewa berwujud perempuan cantik dalam balutan pakaian berwarna kuning lembut berteriak kencang, suaranya telah memecah kedamaian padang pasir.

 
“Bagaimana bisa kalian para dewa menganggap seorang anak sebagai jimat belaka?! Dia adalah dewa juga, sama seperti kalian!” Nilam mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dengan mantap. “Jika seorang dewa saja kalian perlakukan seperti ini… lantas bagaimana kalian memperlakukan manusia? Bagimana kalian memperlakukan siluman dan iblis? Mengapa kalian bersikap seakan kalian adalah entitas tertinggi tetapi memandang rendah entitas lain?”

Seorang dewa dengan jenggot putih panjang dan mata sipit menjawab dengan keras. “Dewa Rendahan sepertimu tidak usah terlalu banyak bicara!”

Netra emas Nilam menatap dengan tajam, netra yang biasanya tampak ramah dan meneduhkan itu kini terlihat sangat kejam. “Jawab pertanyaanku jika kau memang dewa yang cerdas! Jangan berbalik dengan membawa statusku! Apakah seorang anak, yang bernapas dan hidup, bisa disebut sebagai jimat? Bukankah kalian semua tahu bahwa jimat adalah benda mati tetapi memiliki kekuatan spiritual? Dia hidup! Hidup!”

Dewi berpakaian kuning lembut itu lantas menjawab. “Dewa Rendahan, tolong mengertilah. Seribu tahun lalu, juga ada seorang manusia yang memiliki takdir yang sama. Menjadi sebuah jimat hidup. Dia menyelamatkan empat alam sekaligus, tetapi apa yang terjadi ketika dia dibiarkan hidup? Dia mengacau! Kami terpaksa harus membakarnya hidup-hidup!”

“Jangan mengungkit kejadian seribu tahun lalu! Aku juga tahu, dan aku menyesal karena tidak bisa menyelamatkannya! Hah! Kalian semua, para dewa yang berdiri sebagai pejabat istana Matahari, Bulan, Bintang… kalian semua benar-benar mengerikan! Kalian bisa membunuh anakku yang dulu, tapi jika kalian berani menyentuh kedua bayi ini… ingatlah bahwa ayam yang lemah pun bisa membunuh musang yang kuat ketika musang itu mengendus sarang anak-anaknya."

 
Demikian, delapan-puluh-delapan dewa merasa terprovokasi. Mereka semua beranjak maju, dengan senjata-senjata yang mengerikan sekaligus indah. Senjata itu dihiasi dengan batu permata yang melingkar indah di gagangnya. Senjata itu seperti perhiasan yang cantik sekaligus mematikan. Pun, kalian tahu kan bahwa semuanya yang indah belum tentu seindah kenyataannya? Banyak yang indah, tetapi teramat mematikan.

Under The Sun LanternTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang