Episode 14

0 1 0
                                    

“Yang Mulia.”
 
Para pejabat Matahari tiba-tiba berhenti tertawa. Padahal awalnya mereka sibuk tertawa terbahak-bahak hingga mungkin lupa caranya otot wajah mereka akan kaku dan tidak bisa kembali ke ekspresi semula. Benar-benar menyebalkan. Para pria dengan wajah rupawan dan muda, dengan pakaian dan perhiasan gemerlapan yang menunjukkan keagungan, mereka justru lupa caranya untuk menghargai orang lain. Aku tahu Nilam adalah musuh mereka. Tetapi apakah menertawai seseorang yang akan dihukum mati adalah perbuatan yang pantas? Memang benar. Sekarang penampilan bukanlah patokan dari sopan santun.
 
Nilam memberanikan diri mengangkat wajahnya. “Aku tahu mungkin hamba yang hina ini sudah tidak pantas lagi untuk meminta. Tapi… Hamba dengar bahwa setiap terdakwa hukuman mati boleh mengajukan permintaan terakhir sebelum ia dieksekusi.”
 
“Benar-benar berengsek tidak tahu diri!” Seorang dewa tiba-tiba menyahut sambil menunjuk wajah Nilam. “Sudah korupsi dan membunuh, masih sempat-sempatnya meminta sesuatu! Urat malumu itu memang sudah putus.”
 
Tetapi Raja Matahari itu mengabaikan ucapan pejabatnya. “Apa yang kau inginkan, Dewa Rendahan Nilam?”
Salah satu dewi mendengus pelan. “Bahkan setelah semua kejahatan menjijikan itu terungkap, Yang Mulia masih menaggilnya dengan gelar. Ya… meskipun itu gelar yang memalukan…”

“Aku ingin menghabiskan waktuku dengan anak-anakku. Semalam ini saja. Biarkan mereka tidur bersamaku di penjara. Dan… tolong jangan persulit hidup mereka berdua setelah ini.” Ucap Nilam tanpa keraguan.

Raja Matahari menaikkan salah satu alisnya. “Ada lagi?”

Nilam menggeleng. “Itu sudah cukup.”

“Baik. Bawa mereka bertiga ke penjara.”
 
Tubuhku seperti melayang saja ketika dua algojo menyeretku ke dalam penjara, bersamaan dengan Nilam dan Embun. Mataku melirik kearah keduanya. Embun terlihat menunjukkan ekspresi penuh marah dan kebencian. Matanya terus mentap dua algojo yang menyeretnya dengan sorot penuh ejekan. Kadang dia akan meludah di pakaian keduanya—meski berkali-kali pula dihadiahi tempelengan di belakang kepala—ia terus mengulanginya seakan tidak akan pernah puas.

Nilam tampak lebih tenang. Wajahnya sendu, seperti biasanya. Baru kali ini aku melihat sorot ketakutan dan kekhawatiran di matanya. Siapa coba yang tidak takut ketika hendak dihukum mati? Dua algojo yang sedang menyeret tubuhnya terlalu keterlaluan. Lukanya masih menganga lebar tapi ia tetap dipaksa berjalan dengan kasar. Aku berteriak tertahan beberapa kali ketika Nilam meringis menahan sakit. Penampilannya yang biasanya rapi sekarang mendadak menjadi acak-acakan. Wajahnya pucat pasi dengan keringat dingin yang terus menetes. Pipinya dilelehi air mata yang sudah mengering.
 
Penjara tanah ini begitu pengap dan gelap. Untungnya tidak berbau pesing. Obor api yang ditempelkan di beberapa tembok seakan-akan hanya hiasan kecil, saking tak bergunanya cahaya itu. Aku pernah menuliskan bahwa penjara bawah tanah Negeri Matahari adalah tempat paling gelap di dunia. Manusia tak akan bisa melihat apapun, dan akan buta setelah keluar dari penjara ini. Para dewa masih bisa melihat, namun hanya melalui cahaya remang-remang saja. Penjara ini adalah satu-satunya tempat di Istana Matahari yang tidak tersentuh oleh Matahari.
 
Kami dilemparkan dengan kasar ke salah satu sel. Tubuhku jatuh diatas tumpukan jerami terlebih dahulu. Aku dengan sigap langsung berdiri ketika melihat algojo itu melemparkan tubuh Nilam yang sudah sangat lemah. Dia langsung mengeluh kesakitan sambil memegangi kakinya yang berlumuran darah. Yang paling kuat adalah Embun. Meski didorong keras ia tidak terjatuh sama sekali. Justru sebaliknya. Ia langsung berbalik dan meludah ke wajah algojo tersebut. Algojo tersebut langsung berteriak jijik, dan mengusap air liur Embun di wajahnya dengan kasar.

“Nikmati malam terakhir kalian di sini!” Teriaknya, kemudian mengunci sel penjara dan meninggalkan kami bertiga terkunci di dalam sel.
 
Nilam yang masih aku rengkuh tubuhnya mengisyaratkan padaku bahwa ia ingin duduk. Aku bergerak turun, mendudukkannya di atas jerami. Nilam bersandar ke tembok sel penjara yang lembab dan dingin. Bibirnya terus meloloskan rintih kesakitan tetapi matanya masih menatap kearahku dan Embun dengan penuh sayang. Tangannya bergerak menggenggam lenganku dan Embun.

Under The Sun LanternTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang