Episode 15

0 1 0
                                    

Embun perlahan mendekat kearah tiang gantungan. Dengan sabar ia menurunkan tali yang melilit leher Nilam. Tangannya melepaskan tali yang melilit leher Nilam. Tangannya yang lain dengan sigap menopang tubuh Nilam yang sudah tak bernyawa, jatuh ke dalam pelukannya. Embun berlutut di dekat tiang gantungan dan matanya dengan tatapan kosong menatap kearah jenazah orangtuanya. Aku perlahan berjalan kearah Embun yang sedang memeluk Nilam. Aku ikut duduk disebelah.

Kupandangi wajah yang kini pucat dengan mata yang selamanya akan selalu tertutup. Jemariku terulur untuk menyentuh kulit wajahnya yang putih pucat. Dingin. Sangat dingin. Tapi pesonanya tak pudar sama sekali. Ia masih tetap tampan seperti saat ia masih hidup. Jemariku bergerak menggenggam jemarinya yang kini kaku dan sangat dingin. Kuelus perlahan punggung tangannya—meski ia tak akan pernah merespon. Kutatap punggung tangan itu, lalu bergantian menatap wajahnya. Terus begitu berulang-ulang.

Embun menangkap gerakanku yang bergantian menatap punggung tangan dan wajah Nilam. Tiba-tiba aku mendengar suara isak tangisnya. Isak tangisnya terkadang terdengar pelan tanpa suara, tapi kadang terdengar sangat kencang. Putus-putus, dan itu membuat dadaku semakin sesak. Mataku melirik kearah Embun, yang masih terus terisak sambil mencengkeram erat jubah Nilam. Tanganku hendak terulur untuk menyentuh bahu pemuda itu dan menenngkannya.

Tapi ketika melihat Embun menenggelamkan wajahnya di pelukan Nilam, seketika pertahananku ikut hancur. Aku langsung menangis keras bersamanya. Punggung tangan Nilam yang dingin aku cium. Kupejamkan mataku, membayangkan jika seandainya mata yang kini tertutup itu akan membentuk bulan sabit karena tersenyum melihat tingkahku.

Angin berembus sepoi-sepoi. Seakan ikut berduka bersama kami.

Embun membawa tubuh Nilam yang telah kaku di punggungnya. Kami telah berjalan ke seluruh Negeri Matahari, mencari tanah kosong dimana kami bisa menguburkan jasad Nilam. Tetapi tanah di Negeri Matahari tak mau terbuka. Kami telah menggali tanah sedalam mungkin, tetapi tanah itu langsung tertutup ketika tubuh Nilam hendak dikuburkan disana. Bahkan setelah kami memilih hutan paling sepi, tak satupun tanah mau ‘membuka’ diri mereka. Aku langsung meludah kearah tanah.

“Kalian sama menjijikannya dengan para dewa disini!” Makiku.

Embun menyentuh bahuku, lalu menggeleng. “Sudah jangan bertengkar dengan tanah, Kakak akan sedih jika ia melihatnya.”

Kami meninggalkan Negeri Matahari dan turun kembali ke dunia siluman.

“Bagaimanapun juga, negeri ini lebih ramah dari pada Negeri Matahari. Tidak ada rasa iri dan manipulasi.” Ucap Embun seraya memamerkan senyumnya. Senyum yang biasanya sangat manis itu kini tampak sangat menyedihkan. Matanya pun seakan tak lagi hidup.

Rupanya para siluman sudah mengetahui kabar ini terlebih dahulu. Ketika aku dan Embun keluar dari Kuil Matahari, ratusan siluman sudah berkumpul di depan kuil. Pakaian berwarna putih kusam adalah busana yang mereka gunakan saat ini. Ah, aku dan Embun saja belum sempat mengganti pakaian kami.

“Nak, biarkan kami yang membawa tubuh dewa kami. Kau dan kakakmu istirahat saja di tandu.” Ucap sang pemimpin. “Kami para siluman telah menyiapkan kuburan terbaik. Ia akan dikenang, dan dibuatkan kuil sendiri. Bukan sebagai tempat berdoa, tetapi sebagai tempat untuk mengenang semua kebaikannya.”

Embun tersenyum, lantas menggeleng. “Tunjukkan padaku dimana tanah pekuburan itu. Biar aku tetap menggendong tubuh kakakku ini.”

“Tapi, Dewa pasti lelah—“

Under The Sun LanternTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang