Episode 8

4 1 0
                                    

HAH?!

Aku tahu… para dewa dan dewi atau manusia senang menangkap siluman dan hantu. Mereka melakukannya sebagai ajang unjuk kekuatan. Tetapi biasanya mereka akan menangkapnya hanya di saat-saat tertentu, semisal saat para makhluk halus ini tengah bertingkah.

Ini semua…

Aku bisa melihat para dewa—yang sanggup aku kenali dari aura emas dan pakaian mewah mereka—tengah mengobrak-abrik seisi kedai. Siluman apapun, baik yang berbahaya seperti ular atau siluman paling rendahan seperti anjing, semuanya mereka tangkap.

BLAR!

Kekuatan spiritual antara milik para dewa dan para siluman saling beradu. Siluman burung dengan seorang anak kecil di belakangnya tengah mati-matian menahan serangan dari seorang dewa. Mataku menyipit ketika melihat perhiasan dengan simbol matahari.

BLAR!

Dewa ini jelas tandinganku. Dia adalah salah satu prajurit dewa matahari. Aku langsung menciptakan bola matahari di tangan, dan melemparkan bola matahari yang panas itu ke arah prajurit matahari. Kesempatan ini jelas digunakan siluman burung itu untuk kabur—dengan menggendong siluman kecil.

SRET!

Aku menoleh ke arah Embun, yang kini tengah meniupkan badai pasir dari telapak tangannya.

“AAARRGGHHH!!!”

Dewa itu seketika berteriak kesakitan. Badai pasir itu membakar matanya, perih hingga berair. Sementara bola matahariku membakar seluruh tubuhnya. Panas tak tertahankan.

“KAKAK! JANGAN BUANG WAKTU LAGI!” Teriak Embun.

Aku langsung menyambar tubuh Cendana dan berlari ke tempat persembunyian—sebuah lorong bawah tanah yang diciptakan oleh Embun secara mendadak. Kami berlima terengah-engah di sana.

“Embun, Aruna! Bagaimana dengan siluman yang lain?!” Tanya Barga panik.

Embun menoleh kearah kawannya. “Tidak ada yang bisa aku lakukan… jumlah mereka terlalu banyak…”

Tatapan panik Barga berubah menjadi tatapan sendu, dan Sesa yang sejak tadi mematung tiba-tiba membuka bibirnya. “Berapa banyak lagi dari kami yang akan mati? Dimana fungsi para dewa sebagai makhluk tertinggi yang memberikan keadilan bagi makhluk dibawahnya?”

Nada bicaranya sangat dingin, dan matanya menatap tajam kearah Embun. Mata itu seperti sebuah pedang tajam yang siap menguliti musuh hidup-hidup di medan peperangan. Cantik dan mematikan. Pesona seekor naga. “Kau adalah bagian dari mereka.” Ucap Sesa. “Kenapa tidak bisa membujuk mereka—”

“Sesa, kau tahu kan kalau Dewa Pelebur Kesengsaraan dianggap—”

“Pembawa sial? Jimat semata? Tetap saja mereka adalah bagian dari para dewa. Sama seperti mereka.”

“Berhenti menyinggung Embun dan Aruna—”

“TUNGGU! AKU TIDAK MENGERTI MAKSUD KALIAN SEMUA!”

Suara bentakanku berhasil membungkam perdebatan yang terjadi di antara Sesa dan Barga.

“Akhir-akhir ini aku kehilangan ingatanku, jadi aku ingin menanyakan satu hal pada kalian. Apa yang sedang terjadi? Kenapa para dewa itu… menangkap semua siluman?”

“Huh, kau benar-benar tidak tahu? Yang Mulia Dewi?” Sesa memutar bola matanya kesal.

“Berhenti bersikap menyebalkan!” Teriak Barga. “Kenapa kau selalu menjadi menyebalkan begini setiap kali ada Malam Perburuan!”

“Malam Perburuan? Apa itu?” Tanyaku.

“Kau benar-benar lupa atau pura-pura lupa?”

“SESA!” Barga membentak. “Malam Perburuan adalah sebutan bagi para penghuni istana Matahari ketika mereka mencari siluman untuk keperluan militer mereka. Di saat seperti itu mereka menjadi lebih ganas dalam memburu siluman. Siluman apapun yang ada di depan mata atau hantu apapun yang sedang berkeliaran, akan mereka culik. Dulu mereka melakukannya secara diam-diam, tapi sekarang mereka mulai berani melakukannya secara terang-terangan. Biasanya terjadi selama satu atau dua hari.”

Under The Sun LanternTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang