Episode 2

12 1 0
                                    

Peringatan : Adegan kekerasan eksplisit, adegan sadis, darah.

***


Kisah ini bermula 600 tahun yang lalu. Dalam waktu beberapa tahun, kita bisa menemui begitu banyak perbedaan. Apalagi dalam waktu ratusan tahun tentunya. Roda kehidupan terus berputar katanya. Yang awalnya ada di atas, sekarang bisa ada di bawah. Kalimat seperti ‘ketika si A ada di atas, pasti dia menyumbat roda itu dengan batu’ sebenarnya hanya perkara candaan belaka. Kalimat itu hanya muncul dari mulut orang-orang yang frustrasi menunggu adanya perubahan.
600 tahun yang lalu, meski telah berakhir begitu lama tetap tak akan pernah dilupakan sebab sudah dicatat dalam sejarah. Buku-buku tentang tragedi berdarah 600 tahun lalu akan selalu ada di rak-rak buku para dewa, manusia, siluman, dan iblis sekalipun. Di tahun ini, mereka semua menderita begitu hebat. Dan dari penderitaan ini, seorang dewa lahir untuk menghabisi segala derita mereka hanya dalam waktu semalam.

 
Tragedi berdarah yang dimaksud adalah invansi dari Negeri Petir. Alasan di balik invansi ini adalah ambisi Raja Petir untuk menguasai empat alam. Alam abadi para dewa, iblis, siluman dan alam sementara milik manusia. Tentu dalam setiap sejarah penjajahan, tak lengkap tanpa kisah kekejian. Dalam mewujudkan cita-citanya, dewa yang menjabat sebagai Raja Petir telah menumpahkan lebih dari seratus ribu darah milik dewa, siluman, manusia, dan iblis. Tanah sampai berwarna merah, bekas darah yang mengering. Bau darah menguar di segala tempat. Setiap hari prajurit Negeri Petir menarik mayat-mayat dari mereka yang tak patuh.

 
Setiap hari setidaknya ada sepuluh ribu dewa dan makhluk lainnya yang ditumpahkan darahnya. Mayat mereka ditumpuk, dibakar bersamaan. Abunya? Tak ada yang peduli. Dibuang ke sembarang arah dan dibiarkan terinjak-injak.

Pertanian pada saat itu memang sangat maju. Ya, tentu saja! Mereka memaksa para dewa alam dan dewa tumbuhan untuk terus bekerja tanpa dibiarkan beristirahat. Kalian tak akan begitu terkejut jika pada saat itu dewa, siluman, manusia, dan iblis bekerja di sawah-sawah milik Negeri Petir bersama-sama. Sayangnya, raja Negeri Petir bahkan ogah memberikan sepeser dari hasil kerja kerasnya. Semuanya untuk Negeri Petir. Setiap hari, para pekerja ini berjatuhan meregang nyawa. Dan sekali lagi, mayat mereka diperlakukan seperti sampah.

 
Keadaan di pertambangan dan sektor pekerjaan lainnya juga sama. Semuanya dipaksa bekerja tak kenal lelah, tapi tak ada upah sedikitpun. Begitu kejam. Mereka yang melawan, berani berpendapat, akan dibungkam dengan begitu mengerikan. Disengat listrik hingga kedua lubang mata dan telinga, hidung, dan mulut akan meledak dan mengeluarkan darah segar! Atau mereka akan dihukum menelan racun yang mengerikan, darah akan mengalir dari setiap pori-pori mereka. Dan pelan-pelan sang korban akan mati. Mati dengan cara ditusuk, dilempar, dipukul, dimutilasi, atau dibakar akan terasa lebih baik. Beruntung. Satu kata jika mereka dihukum mati bukan dengan kedua cara yang pertama. Meski jika dipikirkan keduanya sama-sama sial.

 
Lalu, apakah kalian pernah mendengar kisah tentang sebuah negara yang mengambil perempuan muda dan memaksa mereka menjadi alat pemuas nafsu untuk puluhan orang sekalipun? Begitu keji bukan? Tetapi Negeri Petir serasa sepuluh kali lipat lebih keji dalam memperlakukan kebijakan ini. Korbannya kebanyakan para dewa yang berwajah rupawan. Para dewa ini, baik yang sedang mengambil wujud perempuan atau laki-laki (karena para dewa dan iblis tidak mempunyai jenis kelamin pasti, jadi mereka bisa mengubah diri menjadi lelaki atau perempuan sesuai keinginan mereka sendiri), akan dipaksa untuk melayani sepuluh ribu prajurit dan rakyat Negeri Petir. Mereka diculik dari kediaman-kediaman mereka, dikurung di sebuah rumah bordil. Bukan hanya melayani nafsu menjijikan secara seksual, tetapi juga melayani nafsu ‘psikopat’ mereka. Kadang para dewa rupawan ini akan dipanggil untuk disiksa habis-habisan. Kadang mereka ditusuk berkali-kali, dipukul sampai semua tubuhnya memar, atau yang paling parah disetrum sampai mereka menangis darah. Tanpa hukuman mati, pun mereka semua tak akan bertahan lebih dari setahun rasa-rasanya. Jika tak mati karena melayani rakyat Negeri Petir, maka akan mati karena bunuh diri. Menggantung diri atau mengiris leher mereka. Para dewa yang melarikan diri tentu nasibnya jauh akan lebih buruk. Ada yang mengatakan mereka akan dikuliti dan dipaksa bergulung di atas paku-paku tajam. Ada yang mengatakan bahwa Prajurit Negeri Petir akan memasukkan petasan yang menyala ke ‘lubang’ mereka. Petasan itu jelas akan meledak, darah dan organ jelas akan mencuat kemana-mana. Mengerikan. Sangat mengerikan.
 

Under The Sun LanternTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang