Episode 12

1 0 0
                                    

“Nyonya!”

Nilam—yang kini sedang dalam wujud seorang wanita muda—yang awalnya sibuk menggandeng tangan anak-anak kecil sambil sesekali berseru pelan karena beberapa dari mereka hampir lepas dari pengawasannya, menoleh kearah seorang pria berumur yang memanggilnya.

“Nyonya, apa yang Nyonya lakukan di tengah hutan begini? Hari akan segera sore. Apakah mereka anak-anakmu?” Tanyanya.

“Oh bukan-bukan, aku belum menikah. Aku adalah guru mereka. Aku akan mengantar mereka pulang.”

“Ah, berarti kau seorang Nona. Nona, apa kau mau menumpang di gerobakku? Aku juga akan pulang, aku baru saja menjual hasil panenku. Apa Nona akan pulang ke kota kecil dekat kaki gunung?”

“Ya, Tuan. Aku akan pulang kesana. Aku akan ikut dengan Tuan. Terima kasih atas tumpangannya.”

Nilam menuju kearah gerobak itu, dan menggendong satu persatu anak-anak yang seharian ini bersamanya. Dia yang terakhir naik.

“Bu Guru, aku akan membantu Ibu Guru.” Seorang anak lelaki yang rambut panjangnya dicepol bergerak mendekati Nilam, mengulurkan tangannya. Sesungguhnya itu adalah hal yang sia-sia saja. Nilam, bahkan jika dia menyamar dalam wujud balita pun bisa naik ke atas gerobak tanpa bantuan siapapun.

“Terima kasih.” Tapi Nilam tetap memegang tangan muridnya itu, menerima bantuan darinya. Nilam tak ingin mengecewakan muridnya yang sudah menawarkan bantuan.

Kini sang dewa—yang sedang mengambil wujud seorang nona muda—sudah duduk bersila diatas gerobaknya.

“Nona ini, berasal dari keluarga bangsawan mana?” Tanya sang pria yang tengah mengemudikan sapinya, berbasa-basi. Pria itu langsung menebak dari pakaian Nilam yang cenderung lebih mewah ketimbang yang digunakan rakyat biasa. Apalagi di awal dia mengaku seorang guru.

“Aku adalah putri salah satu jenderal yang ada di kota pusat.” Jawab Nilam, dan jelas itu adalah jawaban hasil mengarang bebas.

“Ah, lalu apa yang Nona lakukan di desa kota kecil seperti ini? Kenapa tidak memilih mengajar di sekolah besar saja? Banyak sekolah besar di pusat kota.”

“Di kota besar sudah terlalu banyak guru yang dengan sukarela mengajar. Aku tidak kebagian tempat. Jadi aku mengajar di kota kecil saja. Lagi pula mengajar disini juga menyenangkan. Setiap hari aku bisa melihat pemandangan gunung. Baik untuk menjernihkan pikiran.”

Keduanya tertawa terbahak-bahak diatas gerobak. Nilam tengah membelai lembut rambut salah satu muridnya yang kini sedang jatuh tertidur dengan berbantal bahunya.

“Andai semua orang memiliki pemikiran begitu dan tidak begitu berambisi mengejar karier di kota besar. Mungkin seluruh kota akan sama majunya dengan kota besar. Dan aku tidak harus repot-repot menjual hasil panenku ke kota besar. Astaga, sekarang semua hal disana sangat mahal. Bahkan pajak yang harus kubayarkan untuk daganganku lebih mahal dari pada keuntungan yang aku dapatkan.” Keluh sang petani.

“Eh? Lebih besar? Memang berapa biaya pajak untuk pertanian sekarang?” Tanya Nilam. Terakhir kali saat ia memasuki istana kota besar untuk mengajar seni kepada tuan putri raja, ia tidak mendengar berita ini.

“Aku tidak tahu, tapi mereka bilang memang ada kenaikan mendadak untuk persembahan kepada Dewa Matahari. Para pendeta bilang bahwa Dewa Matahari akan menurunkan kemarau kering yang panjang, ada masalah di istana Matahari dan yang harus kami lakukan adalah memberikan persembahan lebih kepada mereka. Agar mereka tidak menurunkan kemarau panjang.”

“Dewa Matahari… menurunkan kemarau panjang? Tapi aku tidak mendengar apapun?” Nilam mengernyitkan dahi. Ia adalah salah satu penghuni istana Matahari—meski sekarang lebih sering berkelana—tetapi tidak mungkin baginya untuk ketinggalan berita sepenting ini.

Under The Sun LanternTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang